Wikipedia

Hasil penelusuran

Selasa, 28 Januari 2014

Surat cinta di penghujung Senja



Matahari sudah beranjak meninggalkan bumi, sebuah isyarat bahwa hari ini akan segera dilahap oleh malam. Betapapun hari ini, setidaknya ada peristiwa besar yang akan ku lalui hari ini. Sebuah pertemuan sederhana yang telah kutunggu sejak enam belas hari yang lalu.
Berkali-kali ku tatap wajah ku dari sebuah cermin yang tampak telah pecah, sebuah perasaan gugup, bahagia dan was-was bercampur aduk. Seakan baru kali ini aku merasakan hal semacam ini dalam kehidupanku.
Wajah Fatimah sesekali kubayangkan meski aku tidak tahu seperti apa wajahnya, namun aku mencoba menebak sendiri wajahnya. Enam belas hari hanya dapat kudengar suaranya yang tidak begitu baik jika ia menjadi seorang penyanyi, namun candaannya dipenghujung telfon begitu mengundang rindu.
Jujur saja, aku mulai mencintai sesuatu yang tidak pernah kuketahui seperti apa bentuknya. Namun begitulah rupa cinta, ia tak mengenal rupa, juga bentuk, sekali perasaan itu hinggap maka logika akan menjadi nomor dua. Bukankah Tuhan pun tidak berupa? Tetapi kita ternyata mencintai-Nya. Pun dengan Baginda Rasulullah, yang selama ini hanya dapat kita dengarkan eritanya dan riwayatnya, ternyata kita begitu mencintainya. “Ahhh..Sudahlah apapun alasannya tidak ada satupun logika dan kata yang dapat merangkai sebuah kalimat untuk emngambarkan perasaan cinta”.

Episode kamar Kos




“Kring..Kring..Kring”, suara telfon masuk di handphone ku..
“Haloo…Kenapa Fan??”, jawabku dengan setengah sadar..
Maklum saja ini hari minggu, aku terbiasa bangun siang jika hari bermalas-malasan tiba. Meski sebenarnya hari macam ini hanya ada dalam kamus ku sendiri, namun karena terbiasa kulakukan sehingga hal ini menjadi sebuah kebiasaan dalam hidup ku.
“Kemana Lu hari ini??”, Ternyata Ifan teman ku yang semalam menanti kami di cafĂ© untuk nonton bareng.
“Gak tau memang kenapa Fan?”, aku bertanya balik.
Sebenarnya aku sangat malas sekali jika hari ini mesti kuhabiskan dengan bermain keluar, karena aku yakin Ifan pasti akan mengajakku bermain bersamanya hari ini.
“Anterin gw yuk keliling-keliling?”,
“Gak ah gw mau dikosan aja”,


Karena aku sudah tahu kemana dia akan mengajakku pergi hari ini. Aku hafal sekali tempat bermain Ifan, selain dia mengunjungi ku dikosan, pasti dia akan menganjakku kepasar burung. Hal yang sangat aku hindari jika bersama dengan ‘Mr. Black Bird’ satu ini, kami menjuluki demikian karena dalam kepala Ifan hanya ada dua hal, makan dan burung. Aku pernah sekali diajaknya kesana, dan apa yang aku alami itu sangat menyedihkan. Dia terbuai dengan kegemarannya memilah-milah burung, seolah dia akan menjadi seorang pembeli, sementara aku yang tidak paham sama sekali, dan berharap tidak paham hanya diam mendengarkan percakapan Ifan dengan penjual burung berjam-jam lamanya.
“Yasudah kalau begitu, gw ajak enak gak mau??”, dia mencoba membuat aku menyesal dengan apa yang kuputuskan barusan, dan segera mematikan telfonnya.
Badanku yang masih terbujur di kasur dengan alas berwarna merah dengan corak kembang-kembang, mencoba mengembalikan ruhku yang baru saja pergi setelah hampir enam jam tertidur pulas.
Mataku menatap tajam dengan pandangan mengarah pada dinding yang berada tepat dihadapanku, dan melihat jam dinding yang menempel sudah menunjukkan pukul 09.30 waktu kosan.
“Ini waktunya memanjakan diri!!!”, hati ku berkata diiringi dengan langkah tegap berdiri menuju kamar mandi yang berada diluar kamar, untuk membasuh muka.

Aku memang bukan tipe pemuda yang suka bermain keluar tanpa alasan dan tujuan yang jelas. Apa lagi, selama lebih dua tahun sejak pertama kali aku hijrah kekota, waktu liburku lebih banyak kuhabiskan untuk bersantai dikamar kos dengan kegiatan-kegiatan yang aku sukai, seperti membaca, bermain game, dan lain-lain.
Namun bukan itu saja alasan mengapa aku menolak permintaan Ifan saat menelfonku tadi. Terlebih sebenarnya aku sudah ada janji dengan Fatimah sore ini untuk pergi bersamanya. Biarpun baru nanti sore aku menjemput Fatimah, tapi aku paham sekali karakter Ifan seperti apa, kalau sudah main dengannya, aku sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi, dia akan memaksaku untuk terus bersamanya sampai dia benar-benar lelah dan mengucapkan kalimat, “yok pulang..gw udah di sms bapak gw”, dasar bujang rumahan.
Pertemuanku pertama kali dengan Ifan terjadi saat kami berada di semester dua, kami ikut dalam sebuah organisasi kampus Senat Mahasiswa, sebagai anggota baru pada saat itu kami diharuskan untuk mengikuti fit and proper test yang diintruksikan oleh panitia rekrutmen anggota senat mahasiswa tersebut, kalau digambarkan tidak jauh berbeda dengan tes-tes yang dilakukan oleh calon kepala daerah untuk mendapatkan perahu partai-lah.
Ada beberapa ujian yang mesti kami lewati sebelum kami resmi dilantik sebagai anggota resmi.
“Ah!!!repot sekali untuk ikut ikut beginian, meski pakai tes segala!!!”, gerutu ku pada saat itu.
“Jangan-jangan nanti ada main suap-menyuap lagi, supaya dapat diterima, kan lumrah seperti pada saat kita mengikuti tes seleksi pegawai negeri!!”, aku mencoba mengira-ngira dengan picik.
Alkisah, kami dihadapkan pada tes tertulis disuatu ruangan kelas yang menjadi tempat tes rekrutmen anggota organisasi tersebut. Sialnya, aku lupa membawa ballpoint, padahal seingatku sudah dimasukkan dalam tas ku tadi pagi sebelum berangkat. Karena semalam aku memakainya untuk mengerjakan tugas mata kuliah media cetak.
Sebagai calon anggota baru, aku merasa gugup dan malu untuk menyampaikannya kepada panitia seleksi.
Mataku liar mengelilingi seluruh ruangan, dan melihat disampingku ada seorang pria berkulit hitam kemanisan, tingginya tidak lebih dari tinggi badan ku. Jika ku amati, wajahnya tidak lebih tampan dibandingkan aktor Srimulat, mas Tarzan.
“Mas ada pulpen dua tidak??”, aku membisikannya, dengan tubuh yang kuayunkan kesebelah.
“Gak ada mas, Cuma satu, kalo mau ni ada pensil?”, Pria itu menjawab  suara yang tidak begitu bagus jika dia menjadi seorang penyanyi.
“Permisi kak..pakai pensil boleh tidak untuk mengisi jawaban, karena pulpen saya hilang!!”, aku mencoba memecah keheningan kelas, dengan bertanya dengan salah satu panitia yang ada dihadapan kami.
Gak papa, pakai saja!!”, jawab wanita manis dihadapan kami, namanya Mba Nisa, dia adalah panitia seleksi, parasnya anggun, memiliki lesung pipit dipipinya. Banyak mahasiswa baru ingin menjadi anggota senat mahasiswa dengan motif ingin lebih dekat dengannya.
“Makasih kak!!!”, jawab ku segera..
“Mas mana pensilnya??”, segera aku palingkan wajah kesebelah kiri tepat dihadapan pria mungil dengan kulit hitam manisnya.
“Nih!!”.
Setelah keluar dari ruang tes tersebut aku dan pria hitam manis yang meminjamkan pensil tadi berbincang-bincang sejenak. Dari situ aku tahu namanya adalah Ifan, dia mahasiswa dari jurusan Pemerintahan, satu angkatan dengan ku. Ifan merupakan anak kota yang perangainya melambangkan kehidupan remaja kota, aku dapat melihat dari gayanya berbicara, dan berpenampilan. Benar-benar berbeda denganku, dalam berbicara Ifan selalu menggunakan pilihan kata, yang asing sekali kudengar, karena aku belum pernah menemukannya saat aku berbicara dengan teman-temanku dikampung. Penampilannya pun, sangat berbeda dengan penampilanku, yang serba apa adanya.
Namun sejak saat itu dalam keseharian ku dikampus, kami sering berbincang-bincang, Ifan sangat mudah bergaul, dan dia bukan seperti kebanyakan remaja kota yang suka memilih-milih teman bergaul. Oleh sebab itu aku memperkenalkannya kepada temanku Meiza, dan setelah itu kehidupanku selalu ditemani oleh mereka berdua.
Meski kami berlainan jurusan, seolah itu bukan alasan untuk menghalangi kami bersahabat, aku mahasiswa Public Relations, Meiza mahasiswa Sosiologi dan Ifan adalah mahasiswa Pemerintahan. Sungguh pertemanan yang menyenangkan, seandainya semua masyarakat Indonesia bisa saling menghargai perbedaan suku, agama dan status sosial, aku yakin Indonesia akan hidup sebagai Negara yang damai dan tentram.


 
“Hari ini benar-benar kunikmati”…
Kebiasaanku membuat kopi setelah bangun dari tidur, selalu kupelihara. Meski banyak orang yang memintaku untuk mengurangi minum kopi, dengan alasan kesehatan, selalu aku menghiraukannya.
Bagiku..Minum Kopi adalah tradisi keluarga kami, bahkan saat aku masih berusia enam tahun, aku sangat sering meminum kopi milik nenek. Terkadang aku dimarahi oleh nenek dan paman-pamanku, namun aku sangat “membandel”, aku tidak peduli, yang penting aku minum kopi, meski aku tahu pasti dimarahi setelahnya. Karena pada dasarnya manusia rela berkorban untuk hal-hal yang disukainya. Termasuk rela dimarahi hanya untuk meminum kopi yang sejak umur enam tahun sudah menajdi minuman favorit dalam hidupku.
“Gimana jadi gak hari ini?”,
Aku membuka pesan di handphone ku, yang ternyata sudah ada sejak aku tidur tadi, namun baru setelah aku duduk santai sambil nonton televisi dan meminum kopi hangat buatan ku tadi, baru aku tersadar saat melihat ada tulisan “1 Pesan Diterima” dari handphone ku.
“Maaf..baru bales, ia jadi kok!!”,
Sebagai bentuk penyesalan, khawatir si pengirim SMS tadi yang tak lain Fatimah, marah karena terlalu lama menunggu balasan ku..
Terus terang hari ini aku gugup sekali, aku tidak bisa membayangkan apa yang nanti akan terjadi dengan ku. Menjemput seseorang dirumahnya, yang jangankan alamatnya, manusianya pun aku belum pernah bertemu.
Selain itu, aku mesti menjemput pakai apa? Aku tidak memiliki kendaraan, kecil kemungkinannya jika aku mesti menjemputnya dengan menaiki angkutan umum. “apa kata dia nanti??”.
“Ia gak papa, pasti kamu baru bangun!!! Jam empat jemput aku dirumah ya!!”, dia membalas seolah dia tahu apa yang terjadi dengan ku. Namun, ada yang mengganjal saat aku membaca pesannya, seolah aku mengetahui alamat rumahnya.
“Oke..kirimkan alamat rumahmu ya..”, aku segera menepis kegundahan hati dengan bertanya alamat rumahnya.
Semoga alamatnya tidak begitu rumit untuk mencarinya, maklum saja meski sudah dua tahun lebih aku tinggal disini, masih banyak tempat yang belum pernah ku jelajahi. Baru-baru saja aku tersasar disebuah komplek dipusat kota, yang menurutku jalannya begitu rumit sekali. Untung saja, aku bertanya-tanya pada penduduk disekitar, sehingga aku dapat keluar dari ketersesatan itu. Benar kata pepatah kuno bilang “malu bertanya sesat dijalan”.
“Nih alamatnya… ##@@@***”, Fatimah menjelaskan alamat rumahnya
Setelah aku membaca pesan tersebut, bak gayung bersambut, aku benar-benar tidak paham alamat rumah Fatimah. Seketika, aku dilanda kebingungan tingkat tinggi!!Bagaimana aku mencarinya??
“Makasih ya!!”,
Sudah jelas aku tidak tahu alamatnya, tapi kenapa aku tidak meminta Fatimah menjelaskan secara rinci tentang keberadaan rumahnya, setidaknya itu bisa membantu untuk mencari tempat dimana Fatimah tinggal.
“Gengsi ini membunuhku!!”.
Seketika fikiran ku tertuju pada seorang sahabat ku dikampus, yang aku yakini dia sangat paham semua tentang semua alamat dikota ini. Maklum saja, selain dia wakamsi (warga kampung sini), dia adalah sahabatku yang memiliki jaringan pertemanan lebih banyak dibandingkan teman-temanku yang lain.
Jendro begitu biasa memanggilnya, nama aslinya Hendriawan Simanjuntak. Pria asli Sumatera Utara, namun karena orang tuanya telah hijrah dikota ini sebelum menikah dan akhirnya menikah dirantauan, maka Jendro lahir dikota ini, dan belum pernah sama sekali menginjakkan kaki ditanah nenek moyangnya tersebut. Jendro adalah sahabatku yang paling cerdas seantero jagat menurutku. Karena setiap kali dia bicara, hampir dipastikan didalam kalimatnya tersisip sebuah teori-teori yang dia dapat di kelas. Jendro adalah satu-satunya sahabatku yang memiliki suara merdu, bahkan menurut kami suaranya melebihi suara Afgan, maklum saja setiap akhir pekan Jendro menjadi vocal untuk lagu-lagu rohani di gereja. Selain itu, ia pun memiliki sifat kesetiakawanan yang sangat tinggi.
Pernah suatu ketika dia sedang berada dirumahnya yang tidak begitu jauh dari tempat tinggalku dikota ini. Seingatku pada saat itu, jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Waktu yang tepat untuk melangkahkan tubuh menuju kamar tidur, disamping kebetulan diluar sedang hujan lebat, maka dipastikan tidur adalah pilihan yang paling tepat untuk Jendro.
Malam itu aku benar-benar menjadi orang yang paling bodoh!!,  ceritanya aku sedang diperjalanan pulang dari rumah pamanku dikota sebelah. Karena baru saja pamanku mengadakan syukuran atas kelahiran anaknya yang kedua. Sebenarnya tempat tinggal pamanku tidak begitu jauh, dapat ditempuh dalam waktu kurang dari satu jam jika menggunakan kendaraan sendiri. Hanya saja, dikarenakan aku tidak memiliki kendaraan, maka perjalanan ku lakukan dengan menggunakan angkutan umum, yang dapat memakan waktu sekitar satu setengah jam perjalanan, dengan dua kali menaiki kendaraan yang berbeda.
Aku berangkat dari rumah pamanku pada jam Sembilan malam, meski sebelumnya pamanku menahan agar aku bermalam disana. Namun pertimbangannya besok aku harus ada dikampus karena sudah janji dengan salah satu dosenku untuk bertemu dengannya pukul 09.00, jadi aku tidak mungkin melakukan perjalanan besok disamping aku tahu ada beberapa materi yang mesti dipersiapkan. Sehingga aku paksakan dengan menolaknya, dan segera lekas meminta izin untuk pamit.
Sebuah angkutan bis antar kota menghantarkanku pada sebuah terminal yang tidak begitu besar ukurannya jika dibandingkan terminal yang ada dikota. Maklum saja ini hanya sebuah tempat transit untuk melanjutkan perjalanan menuju kota dengan menggunakan angkutan umum. Aku melihat disekelilingku, ternyata bukan hanya aku yang melakukan perjalanan malam ini, kuhitung ada sekitar enam orang yang terdiri dari dua wanita yang jika kulihat usianya sekitar 40-50 tahun, dan empat laki-laki termasuk aku.
Nampaknya malam itu merupakan perjalanan yang amat cukup panjang bagi kami, tiba-tiba hujan lebat mengguyur bagaikan pertempuran Kerajaan Otoman yang berusaha menaklukan Konstantinopel, dengan ratusan ribu prajuritnya. Seketika diriku merasakan kegusaran yang entah tidak tahu alasannya, namun perasaan ini begitu mengganggu perjalananku. Rasanya dikepala begitu banyak permasalahan yang terfikirkan, aku sendiri merasa heran, namun segera kau sadari dari mana akar permasalahannya. Yaitu pada saat aku tidak sengaja merogoh kantong celanaku dan segera tersadar bahwa uangku hilang.
Semua orang yang ada disekelilingku menatap keheranan dengan perangai yang ku lakukan. Aku berusaha mencari-cari, disetiap celah kantong celana, dan kuperiksa didalam tasku, ternyata benar bahwa aku telah kehilangan uang yang meski tidak cukup besar nominalnya, namun sangat berharga untuk perjalanku malam ini.
“Tuhan tengah mengujiku dengan kehilangan harta benda yang kumiliki”, betapa manusia tidak bias lepas dari rasa cinta, namun Tuhan menghimbau agar tidak mencintai secara berlebihan atas apa yang kita miliki, karena seua tidaklah kekal, dan kekekalan itu hanyalah milik-Nya, aku begitu bersedih malam itu.
“Haloooo…Ndro….??”,
Aku berusaha mencari bala bantuan dengan menelfon teman-temanku, beruntunglah setelah tiga kali kutelfon temanku, Jendro adalah orang yang mengangkat telfonnya, “ahh mungkin yang lain sudah tidur, maklum ini sudah tengah malam, dan cuacanya hujan pula”, aku mencoba berfikir positif.
“Ia pur..kenapa?”,
“Gw boleh minta tolong gak Ndro??”
“Minta tolong apa?”
“Jemput Gw diterminal -Rejo Sari- Gw keilangan uang Ndro!!!”,
“Astaga…Oke..Oke tunggu disana , gw langsung berangkat sekarang”..Segera Jendro menutup pembicaraan kami.
Alhamdulillah (-Maha Suci Allah-), dibalik kesulitan ada kemudahan, benar-benar Allah menunjukkan Jalannya bagi orang-orang yang ingin berusaha keluar dari kesulitan!!!, aku duduk sembari merenungkan apa yang aku alami malam itu.

 


“Percikan sinar dari matahari siang ini, teras masuk melalui larik-larik jendela kamarku, kehangatan begitu terasa disekeliling kamar yang tidak begitu besar ini, aku masih tetap duduk kokoh dengan segelas kopi yang sengaja kubuat guna menemani ku dalam menikmati minggu ini”.
“Ndro..lagi apa?”, aku mencoba menghubungi teman yang baru saja hinggap dikepala ku melalui sebuah pesan singkat.
Namun nampaknya, Jendro sedang berada digereja ini kan hari minggu, karena sudah kutunggu-tunggu balasannya tak kunjung dibalas.
Entah apa yang membawa fikiran ku melayang-melayang, sampai membawaku teringat pada seorang tua renta, yang wajahnya begitu akrab sekali dikehidupanku. Dia seolah tersenyum dihadapanku, matanya begitu tajam memandangiku dengan penuh harap. Dengan warna rambut yang nyaris tidak lagi berwarna hitam digantikan putih, dan kulit yang sudah keriput karena telah dihabiskan oleh zaman.
Wanita ini seolah memanggilku agar mendekatinya, ia berusaha membuka tabir masa laluku yang dijalani bersamanya hingga aku pergi dari kampung halaman sekitar dua tahun yang lalu.
Ya!! Dia adalah nenek ku, dia adalah wanita yang menghantakan aku dari seorang bayi sampai aku sebesar ini. Sejak ibu meninggal pada saat melahirkanku, neneklah satu-satunya yang kumiliki didunia ini, dia yang selalu merawat dan menjaga aku dalam setiap suka dan duka.
Ayahku adalah seorang yang gagah dan berani, ia begitu menyayangiku dan sangat menantikan ku lahir pada saat aku masih berada dikandungan. Hanya nahas, sebelum aku terlahir kedunia, ayahku sudah lebih dulu pergi dari dunia ini lantaran motor yang dikendarainya saat hendak pulang dari rumah temannya tertabrak mobil berukuran besar, belum sempat sampai dirumah sakit, nyawa ayahku sudah tidak tertolong.
Sementara ibuku, adalah orang yang begitu menyayangi ayahku, sejak kejadian itu, ibuku selalu murung bahkan enggan keluar rumah, ia hanya bersembunyi dikamar sembari membuka lembaran demi lembaran foto pernikahan mereka. Kecintaan ibu ku kepada ayah benar-benar sejati, ketika ia (baca.ibu) melahirkanku, ia mengalami pendarahan yang begitu banyak dan akhirnya Tuhan memanggil ibuku dari dunia ini untuk segera menyusul ayahku yang lebih dahulu pergi.
“Tuhan begitu sayang kepada ayah dan ibumu, sehingga Tuhan memanggil mereka berdua dari dunia ini”, kalimat itu terdengar dari mulut nenek ku pada saat ia selesai menceritakan kisah ayah dan ibu ku.
Namun ternyata nenek begitu sempurna menggantikan posisi ayah dan ibuku didunia ini, meski sampai sebesar ini aku tidak pernah merasakan kelembutan kasih sayang mereka, namun nenek selalu mengganti kasih sayang yang membuatku merasa bahwa hidupku tidak pernah sepi dan sendiri.
“Rasanya aku ingin sekali pulang kekampung halaman untuk melepas rindu sejenak dan bercerita tentang kerasnya hidup dikota”. Pasti dia akan senang, karena cucunya datang dan bercerita, sama halnya ketika aku kecil dahulu yang selalu bercerita dikala aku pulang setelah bermain dengan teman-temanku.

Selalu saja aku menceritakan kisah teman-temanku, pada saat kami bermain. Dan Nenek selalu senang menjadi pendengar setiaku, dari wajahnya aku melihat bahwa nenek begitu paham aku merasa kesepian, aku tidak memiliki adik apa lagi kakak. Aku hanya berdua dengan nenek dirumah tua yang sisi-sisinya terbuat dari kayu yang cukup amat lama.

Lamunanku terpecah saat aku mendengar bunyi dari handphone-ku.
“Maaf pur, bales nya lama..Gw abis dari gereja”, balasan Jendro yang sudah kutunggu sejak dua jam yang lalu.
Mataku segera melirik jam yang menempel didinding kamarku, ternyata sudah menunjukkan jam dua siang lebih. Benar saja dugaan ku, Jendro tadi masih berada di gereja.
“Ndro..Gw pinjem motor ya nanti jam setengah empat, boleh gak?”.
“Emang lu mau kemana?”.
Sekalian aku menjawab pertanyaannya, ini adalah kesempatan untuk mengetahui alamat rumah Fatimah. Karena aku yakin Jendro pasti hafal nama tempat-tempat dikota ini.
“Oke…nanti jam tiga gw kekosan lu..”,
“Sekali mendayung dua pulau terlewati”, -aku tersenyum setelah membaca bunyi pesan Jendro barusan-.
Aku sangat bangga dikelilingi oleh sahabat-sahabat yang begitu baik kepadaku. Disetiap kekurangan manusia, Tuhan selalu menciptakan manusia lain untuk menutupi kekurangan kita. Ini mengingatkan ku tentang kisah Rasulullah SAW, dimana Allah menciptakan manusia lain seperti Abu Bakar as Shiddiq, Umar Bin Khattab, Utsman Bin Affan dan Ali bin Abi Thalib untuk menemani Muhammad dalam berdakwah menyi’ar kan Islam.

Sepak bola persahabatan

“Ia..Maaf  Siapa ini??”, Aku membaca sebuah SMS balasan di HP ku..
“Maaf aku mengganggu aku Purnama temannya Ismayatun”, segera aku membalas SMS dari Fatimah.
Seorang wanita yang belum aku ketahui parasnya, apalagi perangainya. Namun karena ini salah satu saran yang dianjurkan sahabatku Ismayatun, maka aku lakukan saja. Disamping itu, aku pun sadar bahwa dengan peristiwa yang aku alami kemarin-kemarin, jujur saja aku membutuhkan teman lain untuk saling berbagi.
Setelah dua hari aku bertemu Ismayatun, aku mencoba mengikuti sarannya, untuk menghubungi sahabatnya yang bernama Fatimah. Sebenarnya, aku ingin sekali menelfon Fatimah, namun aku sadar ada beberapa alasan yang mengurungkan niatku, yang pertama kami belum saling kenal, aku khawatir nanti tanggapan Fatimah datar-datar saja, kedua aku pun cukup sadar biaya untuk menelfon cukuplah menguras kocek, apalagi aku seorang mahasiswa yang bisa di bilang ongkosnya pas-pasan..

Maklum mahasiswa rantau, “pacar gak punya hutang dimana-mana!!!”,sambil mengingat lirik sebuah lagu.
Jadi pilihan bijaknya adalah melakukan pendekatan melalui SMS, selain terjangkau, provider selulerku pun banyak gratis SMS nya, ‘menyedihkan’. Proses pendekatan awalnya adalah dengan mengirimkan SMS yang bunyinya..
“Ini Fatimah ya?”, tanyaku..
Terang saja itu Fatimah!!! tidak mungkin Ismayatun membohongiku dengan memberi nomor yang salah. Namun sebagai langkah basa-basi yang cukup kuno, rupanya cara ini cukup berhasil.
Setalah dua hari komunikasi antara kami, melalui SMS akhirnya kuberanikan untuk menelfon Fatimah. Seperti yang sudah ku bayangkan sebelumnya, Fatimah hanya berbicara dengan intonasi yang datar, terkesan cuek dan angkuh.
Ahhh!!!..Aku kan baru kenal dengan nya, apa lagi dia seorang wanita, tidak mungkin dia langsung berani mengakrabkan diri dengan orang yang baru dikenalnya apalagi belum jelas bibit bebet nya, aku berfikir positif dengan apa yang ku terima.
Setidaknya, setelah telfon ku matikan aku sedikit banyak tahu siapa Fatimah. Mengingat apa yang disarankan oleh Ismayatun, Fatimah adalah sahabatnya dikampus. Fatimah merupakan teman satu jurusan Ismayatun, mereka kenal akrab satu sama lain.
Apakah sama halnya dengan Ismayatun mengenal siapa aku??, Nalar ku bertanya.

Fatimah adalah sosok wanita yang hobi menonton sepakbola, karena dia menceritakan soal perkembangan Piala Dunia, yang kebetulan tadi malam Jerman baru saja memenangkan perempat final Piala Dunia melawan kesebelasana Argentina dengan Skor Empat-Satu untuk Jerman.
Dan anehnya, Argentina adalah tim idola ku sejak aku duduk dibangku sekolah dasar. Karena sejak kelas empat aku selalu disuguhkan pembicaraan tentang Gabriel Omar Batistuta, oleh pamanku. Pamanku selalu dengan semangat yang berapi-api saat dia mulai membicarakan Superiortas Batistuta, apa lagi saat dia berhasil mencetak gol dalam sebuah pertandingan.
Seolah terhipnotis pamanku, sejak saat itu pula aku menahbiskan diri sebagai pengidola baru, seorang anak kecil yang tidak paham Sepakbola namun begitu mengidolakan Batistuta. Seiring dengan itu pula, aku mulai suka menonton pertandingan sepakbola dilayar kaca, dan bisa dibilang aku hanya penggemar pemain, bukan tim sepakbolanya. Jadi dimanapun Batistuta bermain disitulah aku turut menyukai tim yang dibelanya.
Sementara itu, Fatimah sangat mengidolakan Timnas Jerman!!, meski dia tidak mengutarakan langsung namun dengan nada bangga saat menceritakan kemenangan Jerman, aku tahu dia memfavoritkan Jerman di Piala Dunia yang di gelar di Afrika Selatan tersebut.
Sejak saat itu pula, tanpa kami sadari, awal hubungan kami bermula saat kami membicarakan tentang sepakbola.
“Jadi apa alasan kamu memfavoritkan Jerman??”, aku bertanya disela-sela pembicaraan saat menelfonnya.
“Pemainnya tampan-tampan dan jersey nya bagus!!”,
Dasar wanita zaman sekarang, semua selalu dilihat dari apa yang nampak!!, fikirku dengan miris.
Sudah hampir  seminggu kami berkomunikasi via telfon, tak sedikitpun pembicaraan kami yang mengarah untuk bertemu. Aku merasa kami saling menahan diri satu sama lain. Dengan sedikit menyimpulkan, fatimah sebenarnya membuat aku nyaman untuk beberapa saat. Meski komunikasi kami hanya sebatas melalui media telefon, namun rasanya kami sudah saling mengenal.
Disisi lain, aku sangat pesimis dengan keangkuhan yang ditunjukan Fatimah. Maklum saja gaya anak Kota rasanya cukup melegitimasi sikapnya kepada orang yang baru di kenal apa lagi masih tidak jelas siapa orangnya.
Hampir sepanjang malam kami telfonan, dan menyedihkannya selalu saja aku yang memulai untuk membuka komunikasi diantara kami berdua.
“Wanita kadang makhluk yang paling naif didunia”, gerutuku dalam hati.
“Kartini selalu mengelu-elu kan kesetaraan gender, posisi wanita dan pria mesti sama. Tetapi kenapa dalam dunia macam ini selalu wanita berharap diistimewakan”, keluh ku dalam hari.
 “tok..tok..tok”, suara ketukan dari pintu kamar kos ku.
Aku cukup terkejut, siapa gerangan yang mengetuk pintu kamarku, karena baru saja aku pulang dari kampus pukul 16. 47 waktu kosan ku. Sebenarnya aku bermaksud istirahat sembari memuaskan hobi ku dalam membaca, tiba-tiba ada yang menggangu.
Dengan gaya malas aku beranjak dari kursi dalam kamar kos ku untuk membuka pintu.
“malem ini mau ikut nonton bareng gak?”,
Tanya seorang pria dengan tinggi badan sekitar 172 cm dan rambut menyerupai aktor laga kawakan Andy Lau.
Namanya Meiza lelaki yang banyak disukai oleh kaum hawa karena ketampanannya ini, merupakan orang pertama yang aku kenal saat pertama kali aku menjadi mahasiswa baru. Kebetulan kami diperkenalan oleh sahabat ku dari kampung, namun ia sejak Sekolah Menengah Atas (SMA) sudah berdomisili di kota, yaitu Alen yang merupakan kekasih Meiza. Kami bertemu disebuah rumah makan ketika kami makan siang, saat tengah melakukan pembayaran administrasi sebagai mahasiswa baru. Namun ternyata aku dan Meiza ditakdirkan lain, kami berada di fakultas yang sama. Meski kami berlainan jurusan, namun karena sejak awal kami saling kenal, hubungan itu berlanjut setiap hari di kampus dan bahkan kami bermain bersama diluar kampus.
Tuhan begitu adil, Ia selalu membuat sebuah rekayasa yang tidak pernah diduga oleh Makhluk-Nya. Tuhan Maha Tahu apa yang di butuhkan oleh Makhluk-Nya, saat aku butuh teman, dengan berbagai macam usaha yang kulakukan, ternyata Tuhan mengirimkan nikmat dan rezeki dari arah yang tidak diduga-duga.
“dimana?sama sapa aja?”, belum sempat ku jawab pertanyaannya, aku balik bertanya.
“Jendro, Ikal dan Ifan kita nonton di CafĂ© Biasa”, sanggahnya.
Aku baru saja ingat, malam ini laga semi final Piala Dunia yang mempertemukan Spanyol Vs Jerman. Untung saja teman ku yang bernama Meiza mengingatkan ku akan momen yang ditunggu-tunggu ratusan juta umat manusia didunia. Bagaimana tidak!!, Spanyol dan Jerman merupakan tim kuat favorit juara, dengan gaya ala tiki-taka yang hampir dari setengah pemain Spanyol merupakan pemain yang dijuluki oleh semua orang didunia pemain dari Planet. Sebut saja Xavi Hernandez, Gerard Pique, Iniesta, Puyol, David Villa dan sang penjaga Gawang Iker Casilass.
Sementara lawannya, Jerman tida kalah kuat, dengan bermaterikan pemain yang banyak bermain diliga-liga top Eropa macam Piliph Lahm, Mario Gomez, Bastian Swanchsteiger, Mario Gotze yang digadang-gadang akan menggantikan Franz Backeunbaeur legenda hidup sepakbola Jerman, belum lagi dibawah mistar terdapat Manuel Neur, tak salah rupanya pertandingan ini disebut-sebut sebagai pertandingan terpanas dijagat raya pada tahun ini.
“Yaudah ikut deh”, aku menyetujui untuk ikut teman-teman nonton bareng.
“Jam sepuluh kita berangkat”, jawabnya gaya seorang bos kepada karyawan disusul dengan suara pintu tertutup.
Seperti biasanya Meiza pasti akan menjemputku dengan motor kebanggaannya, sebuah kuda besi keluaran pabrik motor Jepang sekitar tahun 2000. Sejujurnya aku beruntung sekali meski aku tidak memiliki kendaraan, tapi berkat Meiza aku sedikit dimudahkan dalam beberapa urusan. Setidaknya aku bisa meminjam motornya saat aku membutuhkan, kadang ia menjemput ku saat akan berangkat kekampus.
Maklum saja, Meiza adalah pribumi asli kota ini, jadi tidak begitu sulit baginya untuk sekedar bermain ketempat kos ku. Kadang pula aku diajaknya bermain kerumahnya, namun ada hal yang paling tidak aku sukai dari hobinya adalah mengoleksi batu cincin, mungkin karena alasan tersebutlah pacarnya meninggalkannya.
“Terang aja dia ninggalin, ente lebih sayang sama cincin dari pada sama si dia”, itulah kalimat yang ku ucapkan kepada Meiza saat dia menceritakan kisahnya saat di putuskan oleh pacarnya, namanya Mulan.
Kami sering kali berkumpul disebuah CafĂ© yang terletak dipinggiran kota. Cafenya tidak begitu mewah, namun cukup ramai pengunjung, apalagi saat ‘weekend’, cafĂ© ini selalu dipenuhi oleh kalangan muda dan mahasiswa. Karena CafĂ© ini menyuguhkan menu yang relatif terjangkau oleh mahasiswa macam kami. Meski pun kami kesana hanya minum kopi segelas dan sisanya internetan sampe puas.
Seperti memahami kebutuhan kaum muda saat ini, pemilik café membuat sebuah program khusus terutama saat musim sepakbola. Selalu ada kegiatan nonton bareng di café ini, dengan layar yang cukup besar disudut yang dapat diakses semua pengunjung, membuat kami merasa nyaman melakukan nonton bareng di café tersebut.
“Dari pada dikamarku, hanya ada televisi dengan ukuran 14 inch, dengan gambar yang sudah memerah dikarenakan tabungnya rusak, maklum saja televisi tersebut kudapatkan dengan harga murah. Jadi wajar aku sudah tahu konsekuensi apa yang aku terima dengan harga murah yang kuberikan”, keluhku.
Namun nampaknya sosok Fatimah mendapat porsi yang lebih diingatanku, aku mendengar tentang partai semi-final yang mempertemukan Jerman Vs Spanyol, seketika nama Fatimah terngiang dikepalaku. Dengan gaya elang mencari mangsa, aku tak berfikir panjang, segera ku ambil handphone yang kugeletakkan disebelah buku yang sedang ku baca, “Pendidikan Kaum Tertindas” karangan Poulo Fereire, seorang pemerhati pendidikan berasal dari Brazil.
“malem ini Jerman main, mau taruhan???”, dengan nada yang tergesa-gesa  bicara dengan fatimah melalui ponsel kesayangan ku.
“apaan??memang apa taruhannya??”, seolah Fatimah tahu maksud ku..
“terserah saja, apa yang baiknya buat kamu”, sedikit merayu..
“gimana kalo Jerman menang kamu traktir aku makan Es Krim”, Fatimah seakan menyetujui tawaranku..
“oke kalau Spanyol menang, kamu yang traktir aku minum Es Krim??”,  sedikit senyum.
“Oke deh. Yaudah kalo gitu”, dari intonasi suaranya Fatimah ingin segera menyudahi perbincangan kami..
“Oke.. selamat sore”..
Kemudian setelah itu melanjutkan bacaanku untuk menuntaskan buku milik Poulo Fereire, sembari mendengarkan lagu milik salah satu Band Legendaris asal Liverpool, yang sampai hari ini masih dipuja yaitu The Beatles, melalui leptop sahabat ku yang sedang kupinjam untuk mengerjakan tugas kuliah. Judulnya “Strawberry Fields Forever”. Lagu ini sampai kini diabadikan oleh penduduk Liverpool sebagai nama sebuah taman Strawberry dipinggiran kota tersebut.
Liriknya sangat romantis, meski aku bukan seorang yang fasih bicara bahasa Inggris, namun lagu tersebut mendapat perhatian khusus bagiku. Pengambilan nada yang ‘easy listening’ dan lirik yang mudah diterjemahkan, seolah John Lennon mengajak kita untuk membayangkan bagaimana indahnya memadu kasih disebuah taman Strawberry.
Seperti yang sudah dijanjikan oleh Meiza, pukul sepuluh malam aku sudah siap-siap menunggu jemputan Meiza. Sebenarnya aku merupakan sosok pria yang kurang begitu memperhatikan penampilan, sehingga nampak urak-urakan. Rambutku panjang sampai kebahu, belum lagi janggut ku yang hampir menutupi wajah, berpakaian ala mahasiswa dengan t-shirt yang sebenarnya hanya ada tiga pasang diserasikan dengan celana yang lututnya sudah sobek termakan oleh usia.
Meski kadang teman-teman mengejekku dengan kalimat jagoan di film kartun, yang pakaian tidak pernah ganti-ganti. Karena celana ku hanya ada dua potong, dan kemeja hanya satu, jadi semua pakaian tersebut kumasimalkan dalam setiap minggunya.
“tok..tok..tok..tok”, bunyi ketukan pintu kamarku.
“cepet udah ditunggu yang lain”, kali ini Meiza tak sabar menungguku membuka pintu, rupanya pintu kamarku tidak terkunci jadi dia dapat membukanya langsung.
“oke..oke..yuk berangkat!!!”, segera aku keluar dan mengunci pintu.
Rupanya Meiza sudah berada diatas motor dengan mesin yang masih hidup. Dengan raut wajah yang menandakan ketidak sabaraannya.
                cepet..kick off jam setengah sebelas”, teriaknya agar aku sedikit lebih cepat.
              “ia..ia..sabar bray!!”, aku coba menenangkannya. 
Segera aku melahap separuh jok kosong yang disisakan oleh Meiza dibagian belakang motornya. 
Jarak dari kosanku menuju Café tempat kami nonton bareng, tidak begitu jauh. Sehingga dapat ditempuh dengan waktu kurang dari 20 menit. Ternyata ini malam minggu, seluruh kaula muda di kota tahu bahwa tidak baik menghabiskan waktu dikamar atau dirumah. Aku pun tidak tahu sejak kapan paradigma macam ini menggandrungi pemikiran anak muda di kota-kota besar. Yang pada akhirnya kami harus sabar bahwa perjalanan kami menuju café tersebut sedikit memakan waktu yang lama dari biasanya.
Sepanjang perjalanan mataku tidak lepas dari sisi bahu jalan yang sesak dipenuhi oleh komunitas motor yang ‘masya allah’ banyak sekali, mulai dari komunitas motor tua-muda, motor bebek motor laki sampai sepeda ada semua disana. Kadang aku berfikir, apa yang menjadi alasan mereka untuk terlibat dalam persatuan macam ini.
Justru dengan adanya mereka, masyarakat merasa dirugikan. Dengan kebisingannya, belum lagi yang ugal-ugalan, bahkan ada yang konvoi sampai tidak menyisakan sebagian untuk pengendara lain yang juga sedang melakukan perjalanan.
Namun Meiza tetap saja fokus dengan perjalanannya, aku tahu apa yang ada difikirannya, yaitu segera sampai di café. Hal ini sudah kurasakan sejak dari kami berangkat dari kosan tadi, meiza seakan tidak pernah menurukan jarum yang ada di speedometer motornya dari angka 70.
“Mei..Mei..kok motornya limbung??”, aku bertanya sambil ketakutan..
“coba lu cek ban belakang!!!”,
“Astaga Mei ban lu bocor”,
Segera Meiza minggir dari jalanan yang padat dan mematikan mesinnya. Sejenak kami merasa kebingungan dan masih belum percaya dengan apa yang terjadi. Aku menengok aroji di lengan kiriku, waktu sudah menunjukkan pukul 22.48 Waktu setempat, dan merupakan waktu dimana kick off sudah mulai, sementara kami harus pasrah menerima kenyataan bahwa motor kami mengalami insiden pecah ban.
“Jadi gimana ni sekarang??”, tanyaku memecah keheningan.
“Ya..cari tambal ban, mau gimana lagi”, Meiza segera mendorong motor.
Kami berdua percaya bahwa masih banyak penjual jasa tambal ban dipinggiran jalan sepanjang kota ini, hanya kami masih belum tahu apakah jarak dari tempat kami behenti jauh atau dekat. Namun dengan semangat tinggi kami terus berusaha agar ban ini dapat kembali pulih, dan kami dapat melanjutkan perjalanan.
Bray..kita pecah ban..tunggu disana ya”, Aku mendengar Meiza berbicara dengan seseorang melalui telfon selulernya.
“Nelfon siapa Mei??”, tanyaku penasaran.
“Ikal..mereka nungguin kita disana dari tadi”.
Ikal adalah sahabat kami dikampus. Namanya sama dengan potongan rambutnya yang sedikit ikal. Memiliki kebiasaan buruk yaitu senang dengan taruhan bola, kalau kami menyebutnya si penjudi kelas teri. Sosok yang setia kawan, namun sedikit ‘playboy’, karena suka gunta-ganti pasangan. Sebenarnya wajahnya tidak begitu tampan, namun gaya olah lobi yang nilainya sembilan, membuat kami percaya bahwa wanita mana yang tidak bertekuk lutut jika mendengar kalimat pujangga ikal keluar.
“Bray..udah setengah jam kita jalan, mana ni tambal bannya??”, aku sudah merasa frustasi. Nampaknya malam ini akan menjadi malam yang panjang untuk kami berdua.
“Sabar bray..teori probalitas, semakin banyak berusaha semakin banyak peluang, jadi gak usaha ya gak ada peluang”, wah Meiza mengeluarkan teroi yang ia dapat dari dosen tuanya.
Dilain tempat pertandingan Jerman VS Spanyol tengah berlangsung, sementara skor masih sama kuat 0-0, sesuai dengan prediksi kebanyakan orang, kedua kesebelasan akan bertandingan ngotot dan terjadi jual beli serangan, jadi skor kacamata cukup relevan menggambarkan peta kekuatan masing-masing.
Dalam posisi ini aku sebenarnya cukup menyesal, dilain tempat mereka sangat menikmati pertandingan sepakbola, sementara kami mesti berjibaku dengan motor yang sudah tidak bisa dipakai karena ban belakangnya bocor.
“Seandainya tidak berangkat, mungkin saja saat ini, aku tengah menikmati serunya pertandingan Jerman VS Spanyol dari layar kaca sebesar 14 Inch di kamar kosku”, gerutu ku menyesal.
Ahh…!!Menyesal tak ada gunanya, lebih baik berfikir bagaimana menyelesaikan masalah, ketimbang kita terlarut dalam penyesalan, karena tidak ada manfaatnya sama sekali, ia tidak mampu menyelesaikan masalah.
Rupanya kami baru tersadar bahwa ada tambal ban tepat dihadapan kami, setelah sejam lagi kami melakukan perjalanan panjang dari tadi. Seperti pada umumnya, pria gagah dengan paras wajah membentuk trapesium, sudah menanti kami tepat dikios sederhana dengan bekas ban mobil yang bertuliskan “tambal ban”, berwarna putih.
“Lay…masih bisa nambal kan?”, sergahku..
Karena aku tahu dari wajahnya, dia tidak bisa menipu, pasti dia orang Batak. Maka aku tidak ragu untuk memanggilnya dengan kata Lay (sebuah sapaan akrab suku Batak). Aku pun terkadang sampai kini masih heran, mengapa orang-orang batak diidentikkan dengan tambal ban?. Padahal banyak juga orang batak yang sukses dari jalan lain seperti; pengacara, polisi, pejabat dan lain sebagainya.
Namun satu hal yang aku pelajari dari orang Batak adalah, kegigihan dalam menghadapi hidup. Mereka tidak sungkan untuk melakukan pekerjaan apapun demi hidup yang lebih layak. Keberanian dan kegagahan nya mestinya menjadi tauladan bagi orang lain, dimana banyak sekali ditengah-tengah kita yang memasrahkan dirinya dengan nasib. Karena rezeki itu datang dari setiap usaha-usaha yang kita lakukan.
Sebagaimana Tuhan, tidak pernah mengharap manusia untuk terus-terus berhasil, namun Tuhan selalu menghimbau manusia agar terus berusaha dan berdo’a kepada-Nya.
“Berapa lubang Lay??”, tanya Meiza kepada penambal ban, yang tengah bersusah payah mengerjakan tugasnya menambal ban.
“dua!!!”,
“Kira-kira lama ya Lay??”, aku mencoba menengahi pembicaraan mereka.
Yah kurang lebih sejam!!”.
Aku dan Meiza serempak memandang satu sama lain, seolah kami saling mengetahui apa yang ada dalam fikiran kami berdua.
Ya..dan itu artinya malam ini kami batal untuk menyaksikan pertandingan sepakbola di tempat yang sudah kami sepakati bersama. Dengan begitu, malam ini kami habiskan di tambal ban milik Lay, dan hanya menyaksikan bagaimana sibuknya tukang tambal ban ini, membedah ban motor milik Meiza.
“coba lu tanya anak-anak udah berapa skornya”, pintaku kepada Meiza..
Dengan kesigapan ala tentaranya, Meiza segera menelfon salah satu temanku yang tengah asyik menyaksikan laga semi-final Jerman VS Spanyol di Café langganan kami.
“Halo..Kal..Maaf kayakanya kita gak bisa kesana, nambal bannya lama”, Meiza membuka pembicaraan dengan meminta maaf.
Skornya udah berapa??”,
Ohh..oke…yasudah makasih”..
Sekarang menit 83, skor masih 0-0”, mencoba menjelaskan hasil pembicaraannya kepada ku. Karena aku tidak mendengar apa yang dikatakan oleh lawan telfon Meiza barusan.
Pasti pertandingannya berjalan dengan sengit, aku mencoba mencari jawaban sendiri atas apa yang tidak aku saksikan.
Mungkin saja ini akan berakhir dengan perpanjangan waktu dan adu gawang oleh kedua tim. Jika sampai terjadi adu gawang, terang saja aku menjagokan Spanyol, karena memiliki beberapa pemain dengan akurasi tendangan yang cukup baik, dan Iker Cassilas yang merupakan penjaga gawang terbaik dunia, dengan ketenangan mengantisipasi tendangan. “Aku mencoba memprediksi layaknya komentator sepakbola di Televisi macam M. Kusnaeni atau Bung Tommy Welly”.
Sekitar kurang dari sejam kami bercengkrama di tambal ban, akhirnya si penambal ban, telah merampungkan pekerjaannya..
“Oke..sudah..”, si Lay mengisyaratkan kesuksesannya dalam menambal ban.
“Berapa Lay??”, tanya Meiza utuk memastikan besaran ongkos yang harus kami bayar.
“10.000!!!”,
Tanpa bicara Meiza segera memasukkan tangan kanannya kesaku celanan sebelah kanan, dan langsung memberikan kepada Lay.
“Makasih Lay!!!”, sembari melempar senyuman, tanda pembayaran dari ku,  aku tidak berkontribusi aktif dalam proses tambal-menambal ini. Jadi yang bisa kubayarkan adalah senyuman indah tanda perpisahan kami dengan si Lay tadi.
“Gw balik aja Mei, udah jam setengah satu lebih”, pintaku kepada sang sopir  yang sekaligus sahabat ku.
Bergegas Mei mengarahkan kendaraannya menuju tempat tinggal ku yang seukuran 3x4 Meter, dan kusewa selama satu tahun dengan uang sebesar 2,7 Juta Rupiah. Pemilik kosan ku adalah seorang ibu tua, yang kira-kira usianya sekira 50 tahunan. Dia begitu ramah kepada semua penghuni kosan, kami biasa memanggilnya ‘Uni’, aku pun sebenarnya tidak tahu asal muasal mengapa ia suka dipanggil demikian. Mungkin saja jiwanya yang masih muda meski jika melihat wajahnya lebih cocok dipanggil nenek, atau bisa jadi karena darahnya mengalir ras minang yang berasal dari ayah dan ibunya. Jadi wajar saja dia sangat suka dipanggil ‘uni’ (sebutan kakak perempuan dalam tradisi masyarakat Minang).
Setelah hampir 20 menit kami berjalan, motor yang kami naiki, tiba-tiba berhenti tepat didepan halaman sebuah bangunan berderet, yang lebih menyerupai susunan kamar yang menyamping, itu adalah kosanku.
“udah sampe!!!”, ujar Mei seolah dia memerankan supir taksi yang mengisyaratakan perjalanannya telah usai kepada penumpang.
“Mampir dulu gak??”,
“Makasih deh, langsung aja”,
“Yasudah..hati-hati”,
“Sip…Gw pulang ya..”, Seraya melambaikan tangan untuk sebuah perpisahan kecil dimalam yang panjang bagi kami berdua..
Setelah mengamati perpisahan itu, aku memutar balikkan tubuh, dan lekas berjalan menuju kamar.
Entah apa yang ada dalam benakku, arloji ku sudah menunjukkan pukul 01.23 Wib, namun ada yang mendorong keinginannku untuk menekan tombol bergambar telfon di ponsel 3310 berwarna biru tua dari saku celana.
“Halooo..”, suaranya begitu merdu, nan indah namun tetap tegar meski  ini sudah dini hari..
“Kok belum tidur??”,
“Belum..baru aja selesai nonton bola”,
Astaga, wanita ini kan penggila bola, tak salah jika ia rela tidak tidur untuk menyaksikan pertandingan sepakbola, apa lagi yang main adalah tim favoritnya. ‘Aku coba memahami situasi’.
“Memang kamu gak nonton??”, dia berusaha mengendalikan pembicaraan.
Fatimah ternyata sudah lebih merasa nyaman berkomunikasi dengan ku, setelah seminggu lebih kami berkomunikasi via telfon. Aku berusaha menceritakan apa yang aku alami tadi kepada Fatimah. Ia terlihat senang sekali mendengarnya, padahal hatiku sangat kesal sekali apabila mengingat peristiwa tersebut.
“Kamu menang!!!”,
tiba-tiba Fatimah berkata dengan nada sedih, atas kekalahannya dalam taruhan dengan ku..
Seolah mendapatkan energy tambahan, tiba-tiba rasa kesal dan lelah setelah hampir dua jam kami berjalan dengan sepeda motor yang hanya bisa didorong, tiba-tiba lenyap seketika.
Namun aku tetap berusaha elegan saat sedang berbicara dengannya..
“Ohh..memang siapa yang cetak gol?”, dengan nada yang ‘sok’ bijaksana aku bertanya.
“Puyol..menit 89, padahal dari babak pertama, Jerman menguasai pertandingan”, nadanya menyesali kekalahan Jerman.
“Yah..begitu lah sepakbola, sebelum wasit meniup peluit panjang babak kedua, kita tidak pernah tahu siapa yang akan keluar sebagai pemenang”, aku menerangkan seolah paham dengan permainan sepakbola.
Aku memang bukan seorang pemuda yang cukup lihai dalam mengolah kulit bundar, namun sejak kecil aku sangat suka membaca Koran atau majalah sepakbola, dan sejak saat itu meski uang jajan ku tidak lah terlalu besar, aku selalu sisih kan uang jajan hanya untuk membeli majalah bola, kebetulan dikampungku dekat dengan pasar, dan setiap Jum’at siang kusempatkan kepasar membeli majalah bola mingguan diloper koran.
Oleh sebab itu, sedikit banyak aku lebih paham tentang perkembangan sepakbola, dibandingkan menguasai rumus matematika dan pelajaran-pelajaran disekolah lainnya.
Hampir sejam kami berbincang-bincang, aku mulai merasa bahwa Fatimah sudah mulai mengantuk. Sebelum kami akhiri pembicaraan tersebut, Fatimah akhirnya mengajak aku bertemu pada sebuah restoran yang menjual Es Krim, sebagai bentuk pembayaran hutang atas kekalahannya malam ini. Aku sedikit gugup, karena sama sekali aku belum pernah datang ketempat yang dijanjikan oleh Fatimah. Rasa minder, dan malu menghinggapi setelah aku mendengar ajakan Fatimah tersebut.
Sungguh benar-benar malam yang panjang untukku, Meiza dan Fatimah. Diawali dengan cobaan betus ban, dan di akhiri dengan kalimat manis Fatimah. “Besok jemput aku ya, aku mau traktir kamu Es Krim”, sepenggal kalimat Fatimah sebelum menuntaskan obrolan kami berdua ditelfon tadi.
“Tuhan Maha Benar, dibalik kesulitan pasti ada kemudahan”.