Umbak Laok Pesiser
Wikipedia
Hasil penelusuran
Rabu, 08 Juli 2015
Jumat, 30 Mei 2014
Senin, 03 Februari 2014
Selasa, 28 Januari 2014
Surat cinta di penghujung Senja
Matahari
sudah beranjak meninggalkan bumi, sebuah isyarat bahwa hari ini akan segera
dilahap oleh malam. Betapapun hari ini, setidaknya ada peristiwa besar yang
akan ku lalui hari ini. Sebuah pertemuan sederhana yang telah kutunggu sejak
enam belas hari yang lalu.
Berkali-kali
ku tatap wajah ku dari sebuah cermin yang tampak telah pecah, sebuah perasaan
gugup, bahagia dan was-was bercampur aduk. Seakan baru kali ini aku merasakan
hal semacam ini dalam kehidupanku.
Wajah
Fatimah sesekali kubayangkan meski aku tidak tahu seperti apa wajahnya, namun
aku mencoba menebak sendiri wajahnya. Enam belas hari hanya dapat kudengar
suaranya yang tidak begitu baik jika ia menjadi seorang penyanyi, namun
candaannya dipenghujung telfon begitu mengundang rindu.
Jujur
saja, aku mulai mencintai sesuatu yang tidak pernah kuketahui seperti apa
bentuknya. Namun begitulah rupa cinta, ia tak mengenal rupa, juga bentuk,
sekali perasaan itu hinggap maka logika akan menjadi nomor dua. Bukankah Tuhan
pun tidak berupa? Tetapi kita ternyata mencintai-Nya. Pun dengan Baginda
Rasulullah, yang selama ini hanya dapat kita dengarkan eritanya dan riwayatnya,
ternyata kita begitu mencintainya. “Ahhh..Sudahlah apapun alasannya tidak ada
satupun logika dan kata yang dapat merangkai sebuah kalimat untuk emngambarkan
perasaan cinta”.
Episode kamar Kos
“Kring..Kring..Kring”,
suara telfon masuk di handphone ku..
“Haloo…Kenapa
Fan??”, jawabku dengan setengah sadar..
Maklum saja ini hari minggu, aku
terbiasa bangun siang jika hari bermalas-malasan tiba. Meski sebenarnya hari
macam ini hanya ada dalam kamus ku sendiri, namun karena terbiasa kulakukan
sehingga hal ini menjadi sebuah kebiasaan dalam hidup ku.
“Kemana Lu hari ini??”,
Ternyata Ifan teman ku yang semalam menanti kami di café untuk nonton bareng.
“Gak
tau memang kenapa Fan?”, aku bertanya balik.
Sebenarnya aku sangat malas sekali jika
hari ini mesti kuhabiskan dengan bermain keluar, karena aku yakin Ifan pasti
akan mengajakku bermain bersamanya hari ini.
“Anterin gw yuk
keliling-keliling?”,
“Gak
ah gw mau dikosan aja”,
Karena aku sudah tahu kemana dia akan
mengajakku pergi hari ini. Aku hafal sekali tempat bermain Ifan, selain dia
mengunjungi ku dikosan, pasti dia akan menganjakku kepasar burung. Hal yang
sangat aku hindari jika bersama dengan ‘Mr.
Black Bird’ satu ini, kami menjuluki demikian karena dalam kepala Ifan
hanya ada dua hal, makan dan burung. Aku pernah sekali diajaknya kesana, dan
apa yang aku alami itu sangat menyedihkan. Dia terbuai dengan kegemarannya
memilah-milah burung, seolah dia akan menjadi seorang pembeli, sementara aku
yang tidak paham sama sekali, dan berharap tidak paham hanya diam mendengarkan
percakapan Ifan dengan penjual burung berjam-jam lamanya.
“Yasudah kalau begitu, gw ajak enak
gak mau??”, dia mencoba membuat aku menyesal dengan
apa yang kuputuskan barusan, dan segera mematikan telfonnya.
Badanku yang masih terbujur di kasur
dengan alas berwarna merah dengan corak kembang-kembang, mencoba mengembalikan
ruhku yang baru saja pergi setelah hampir enam jam tertidur pulas.
Mataku menatap tajam dengan pandangan
mengarah pada dinding yang berada tepat dihadapanku, dan melihat jam dinding
yang menempel sudah menunjukkan pukul 09.30 waktu kosan.
“Ini waktunya memanjakan diri!!!”,
hati ku berkata diiringi dengan langkah tegap berdiri menuju kamar mandi yang
berada diluar kamar, untuk membasuh muka.
Aku memang bukan tipe pemuda yang suka
bermain keluar tanpa alasan dan tujuan yang jelas. Apa lagi, selama lebih dua
tahun sejak pertama kali aku hijrah kekota, waktu liburku lebih banyak
kuhabiskan untuk bersantai dikamar kos dengan kegiatan-kegiatan yang aku sukai,
seperti membaca, bermain game, dan lain-lain.
Namun bukan itu saja alasan mengapa aku
menolak permintaan Ifan saat menelfonku tadi. Terlebih sebenarnya aku sudah ada
janji dengan Fatimah sore ini untuk pergi bersamanya. Biarpun baru nanti sore
aku menjemput Fatimah, tapi aku paham sekali karakter Ifan seperti apa, kalau
sudah main dengannya, aku sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi, dia akan
memaksaku untuk terus bersamanya sampai dia benar-benar lelah dan mengucapkan
kalimat, “yok pulang..gw udah di sms
bapak gw”, dasar bujang rumahan.
Pertemuanku pertama kali dengan Ifan
terjadi saat kami berada di semester dua, kami ikut dalam sebuah organisasi
kampus Senat Mahasiswa, sebagai anggota baru pada saat itu kami diharuskan
untuk mengikuti fit and proper test yang diintruksikan oleh panitia rekrutmen
anggota senat mahasiswa tersebut, kalau digambarkan tidak jauh berbeda dengan
tes-tes yang dilakukan oleh calon kepala daerah untuk mendapatkan perahu
partai-lah.
Ada beberapa ujian yang mesti kami
lewati sebelum kami resmi dilantik sebagai anggota resmi.
“Ah!!!repot
sekali untuk ikut ikut beginian, meski pakai tes segala!!!”,
gerutu ku pada saat itu.
“Jangan-jangan nanti ada main
suap-menyuap lagi, supaya dapat diterima, kan lumrah seperti pada saat kita
mengikuti tes seleksi pegawai negeri!!”, aku mencoba mengira-ngira dengan
picik.
Alkisah, kami dihadapkan pada tes
tertulis disuatu ruangan kelas yang menjadi tempat tes rekrutmen anggota
organisasi tersebut. Sialnya, aku lupa membawa ballpoint, padahal seingatku
sudah dimasukkan dalam tas ku tadi pagi sebelum berangkat. Karena semalam aku
memakainya untuk mengerjakan tugas mata kuliah media cetak.
Sebagai calon anggota baru, aku merasa
gugup dan malu untuk menyampaikannya kepada panitia seleksi.
Mataku liar mengelilingi seluruh
ruangan, dan melihat disampingku ada seorang pria berkulit hitam kemanisan,
tingginya tidak lebih dari tinggi badan ku. Jika ku amati, wajahnya tidak lebih
tampan dibandingkan aktor Srimulat, mas Tarzan.
“Mas ada pulpen dua tidak??”,
aku membisikannya, dengan tubuh yang kuayunkan kesebelah.
“Gak ada mas, Cuma satu, kalo mau
ni ada pensil?”, Pria itu menjawab suara yang tidak begitu bagus jika dia
menjadi seorang penyanyi.
“Permisi kak..pakai pensil boleh
tidak untuk mengisi jawaban, karena pulpen saya hilang!!”,
aku mencoba memecah keheningan kelas, dengan bertanya dengan salah satu panitia
yang ada dihadapan kami.
“Gak papa, pakai saja!!”, jawab wanita
manis dihadapan kami, namanya Mba Nisa, dia adalah panitia seleksi, parasnya
anggun, memiliki lesung pipit dipipinya. Banyak mahasiswa baru ingin menjadi
anggota senat mahasiswa dengan motif ingin lebih dekat dengannya.
“Makasih
kak!!!”, jawab ku segera..
“Mas mana pensilnya??”,
segera aku palingkan wajah kesebelah kiri tepat dihadapan pria mungil dengan
kulit hitam manisnya.
“Nih!!”.
Setelah keluar dari ruang tes tersebut
aku dan pria hitam manis yang meminjamkan pensil tadi berbincang-bincang
sejenak. Dari situ aku tahu namanya adalah Ifan, dia mahasiswa dari jurusan
Pemerintahan, satu angkatan dengan ku. Ifan merupakan anak kota yang perangainya
melambangkan kehidupan remaja kota, aku dapat melihat dari gayanya berbicara,
dan berpenampilan. Benar-benar berbeda denganku, dalam berbicara Ifan selalu
menggunakan pilihan kata, yang asing sekali kudengar, karena aku belum pernah
menemukannya saat aku berbicara dengan teman-temanku dikampung. Penampilannya
pun, sangat berbeda dengan penampilanku, yang serba apa adanya.
Namun sejak saat itu dalam keseharian ku
dikampus, kami sering berbincang-bincang, Ifan sangat mudah bergaul, dan dia
bukan seperti kebanyakan remaja kota yang suka memilih-milih teman bergaul.
Oleh sebab itu aku memperkenalkannya kepada temanku Meiza, dan setelah itu
kehidupanku selalu ditemani oleh mereka berdua.
Meski kami berlainan jurusan, seolah itu
bukan alasan untuk menghalangi kami bersahabat, aku mahasiswa Public Relations,
Meiza mahasiswa Sosiologi dan Ifan adalah mahasiswa Pemerintahan. Sungguh
pertemanan yang menyenangkan, seandainya semua masyarakat Indonesia bisa saling
menghargai perbedaan suku, agama dan status sosial, aku yakin Indonesia akan
hidup sebagai Negara yang damai dan tentram.
|
“Hari
ini benar-benar kunikmati”…
Kebiasaanku membuat kopi setelah bangun
dari tidur, selalu kupelihara. Meski banyak orang yang memintaku untuk
mengurangi minum kopi, dengan alasan kesehatan, selalu aku menghiraukannya.
Bagiku..Minum Kopi adalah tradisi
keluarga kami, bahkan saat aku masih berusia enam tahun, aku sangat sering
meminum kopi milik nenek. Terkadang aku dimarahi oleh nenek dan paman-pamanku,
namun aku sangat “membandel”, aku tidak peduli, yang penting aku minum kopi,
meski aku tahu pasti dimarahi setelahnya. Karena pada dasarnya manusia rela
berkorban untuk hal-hal yang disukainya. Termasuk rela dimarahi hanya untuk
meminum kopi yang sejak umur enam tahun sudah menajdi minuman favorit dalam
hidupku.
“Gimana jadi gak hari ini?”,
Aku membuka pesan di handphone ku, yang
ternyata sudah ada sejak aku tidur tadi, namun baru setelah aku duduk santai
sambil nonton televisi dan meminum kopi hangat buatan ku tadi, baru aku
tersadar saat melihat ada tulisan “1
Pesan Diterima” dari handphone ku.
“Maaf..baru bales, ia jadi kok!!”,
Sebagai bentuk penyesalan, khawatir si
pengirim SMS tadi yang tak lain Fatimah, marah karena terlalu lama menunggu
balasan ku..
Terus terang hari ini aku gugup sekali,
aku tidak bisa membayangkan apa yang nanti akan terjadi dengan ku. Menjemput
seseorang dirumahnya, yang jangankan alamatnya, manusianya pun aku belum pernah
bertemu.
Selain itu, aku mesti menjemput pakai
apa? Aku tidak memiliki kendaraan, kecil kemungkinannya jika aku mesti
menjemputnya dengan menaiki angkutan umum. “apa
kata dia nanti??”.
“Ia gak papa, pasti kamu baru
bangun!!! Jam empat jemput aku dirumah ya!!”, dia membalas
seolah dia tahu apa yang terjadi dengan ku. Namun, ada yang mengganjal saat aku
membaca pesannya, seolah aku mengetahui alamat rumahnya.
“Oke..kirimkan alamat rumahmu ya..”,
aku segera menepis kegundahan hati dengan bertanya alamat rumahnya.
Semoga alamatnya tidak begitu rumit
untuk mencarinya, maklum saja meski sudah dua tahun lebih aku tinggal disini,
masih banyak tempat yang belum pernah ku jelajahi. Baru-baru saja aku tersasar
disebuah komplek dipusat kota, yang menurutku jalannya begitu rumit sekali.
Untung saja, aku bertanya-tanya pada penduduk disekitar, sehingga aku dapat
keluar dari ketersesatan itu. Benar kata pepatah kuno bilang “malu bertanya
sesat dijalan”.
“Nih
alamatnya… ##@@@***”, Fatimah menjelaskan alamat rumahnya
Setelah aku membaca pesan tersebut, bak
gayung bersambut, aku benar-benar tidak paham alamat rumah Fatimah. Seketika,
aku dilanda kebingungan tingkat tinggi!!Bagaimana aku mencarinya??
“Makasih ya!!”,
Sudah jelas aku tidak tahu alamatnya,
tapi kenapa aku tidak meminta Fatimah menjelaskan secara rinci tentang
keberadaan rumahnya, setidaknya itu bisa membantu untuk mencari tempat dimana
Fatimah tinggal.
“Gengsi
ini membunuhku!!”.
Seketika fikiran ku tertuju pada seorang
sahabat ku dikampus, yang aku yakini dia sangat paham semua tentang semua
alamat dikota ini. Maklum saja, selain dia wakamsi (warga kampung sini), dia
adalah sahabatku yang memiliki jaringan pertemanan lebih banyak dibandingkan teman-temanku
yang lain.
Jendro begitu biasa memanggilnya, nama
aslinya Hendriawan Simanjuntak. Pria asli Sumatera Utara, namun karena orang
tuanya telah hijrah dikota ini sebelum menikah dan akhirnya menikah dirantauan,
maka Jendro lahir dikota ini, dan belum pernah sama sekali menginjakkan kaki
ditanah nenek moyangnya tersebut. Jendro adalah sahabatku yang paling cerdas
seantero jagat menurutku. Karena setiap kali dia bicara, hampir dipastikan
didalam kalimatnya tersisip sebuah teori-teori yang dia dapat di kelas. Jendro
adalah satu-satunya sahabatku yang memiliki suara merdu, bahkan menurut kami
suaranya melebihi suara Afgan, maklum saja setiap akhir pekan Jendro menjadi
vocal untuk lagu-lagu rohani di gereja. Selain itu, ia pun memiliki sifat
kesetiakawanan yang sangat tinggi.
Pernah suatu ketika dia sedang berada
dirumahnya yang tidak begitu jauh dari tempat tinggalku dikota ini. Seingatku
pada saat itu, jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Waktu yang tepat
untuk melangkahkan tubuh menuju kamar tidur, disamping kebetulan diluar sedang
hujan lebat, maka dipastikan tidur adalah pilihan yang paling tepat untuk
Jendro.
Malam itu aku benar-benar menjadi orang
yang paling bodoh!!, ceritanya aku
sedang diperjalanan pulang dari rumah pamanku dikota sebelah. Karena baru saja
pamanku mengadakan syukuran atas kelahiran anaknya yang kedua. Sebenarnya
tempat tinggal pamanku tidak begitu jauh, dapat ditempuh dalam waktu kurang
dari satu jam jika menggunakan kendaraan sendiri. Hanya saja, dikarenakan aku
tidak memiliki kendaraan, maka perjalanan ku lakukan dengan menggunakan
angkutan umum, yang dapat memakan waktu sekitar satu setengah jam perjalanan,
dengan dua kali menaiki kendaraan yang berbeda.
Aku berangkat dari rumah pamanku pada
jam Sembilan malam, meski sebelumnya pamanku menahan agar aku bermalam disana.
Namun pertimbangannya besok aku harus ada dikampus karena sudah janji dengan
salah satu dosenku untuk bertemu dengannya pukul 09.00, jadi aku tidak mungkin
melakukan perjalanan besok disamping aku tahu ada beberapa materi yang mesti
dipersiapkan. Sehingga aku paksakan dengan menolaknya, dan segera lekas meminta
izin untuk pamit.
Sebuah angkutan bis antar kota
menghantarkanku pada sebuah terminal yang tidak begitu besar ukurannya jika
dibandingkan terminal yang ada dikota. Maklum saja ini hanya sebuah tempat
transit untuk melanjutkan perjalanan menuju kota dengan menggunakan angkutan
umum. Aku melihat disekelilingku, ternyata bukan hanya aku yang melakukan
perjalanan malam ini, kuhitung ada sekitar enam orang yang terdiri dari dua
wanita yang jika kulihat usianya sekitar 40-50 tahun, dan empat laki-laki
termasuk aku.
Nampaknya malam itu merupakan perjalanan
yang amat cukup panjang bagi kami, tiba-tiba hujan lebat mengguyur bagaikan
pertempuran Kerajaan Otoman yang berusaha menaklukan Konstantinopel, dengan
ratusan ribu prajuritnya. Seketika diriku merasakan kegusaran yang entah tidak
tahu alasannya, namun perasaan ini begitu mengganggu perjalananku. Rasanya
dikepala begitu banyak permasalahan yang terfikirkan, aku sendiri merasa heran,
namun segera kau sadari dari mana akar permasalahannya. Yaitu pada saat aku
tidak sengaja merogoh kantong celanaku dan segera tersadar bahwa uangku hilang.
Semua orang yang ada disekelilingku
menatap keheranan dengan perangai yang ku lakukan. Aku berusaha mencari-cari,
disetiap celah kantong celana, dan kuperiksa didalam tasku, ternyata benar
bahwa aku telah kehilangan uang yang meski tidak cukup besar nominalnya, namun
sangat berharga untuk perjalanku malam ini.
“Tuhan tengah mengujiku dengan
kehilangan harta benda yang kumiliki”, betapa manusia tidak bias lepas dari
rasa cinta, namun Tuhan menghimbau agar tidak mencintai secara berlebihan atas
apa yang kita miliki, karena seua tidaklah kekal, dan kekekalan itu hanyalah
milik-Nya, aku begitu bersedih malam itu.
“Haloooo…Ndro….??”,
Aku berusaha mencari bala bantuan dengan
menelfon teman-temanku, beruntunglah setelah tiga kali kutelfon temanku, Jendro
adalah orang yang mengangkat telfonnya, “ahh mungkin yang lain sudah tidur,
maklum ini sudah tengah malam, dan cuacanya hujan pula”, aku mencoba berfikir
positif.
“Ia
pur..kenapa?”,
“Gw
boleh minta tolong gak Ndro??”
“Minta
tolong apa?”
“Jemput
Gw diterminal -Rejo Sari- Gw keilangan uang Ndro!!!”,
“Astaga…Oke..Oke tunggu disana , gw
langsung berangkat sekarang”..Segera Jendro menutup
pembicaraan kami.
Alhamdulillah (-Maha Suci Allah-), dibalik
kesulitan ada kemudahan, benar-benar Allah menunjukkan Jalannya bagi
orang-orang yang ingin berusaha keluar dari kesulitan!!!, aku duduk sembari
merenungkan apa yang aku alami malam itu.
|
“Percikan sinar dari matahari siang ini,
teras masuk melalui larik-larik jendela kamarku, kehangatan begitu terasa
disekeliling kamar yang tidak begitu besar ini, aku masih tetap duduk kokoh
dengan segelas kopi yang sengaja kubuat guna menemani ku dalam menikmati minggu
ini”.
“Ndro..lagi apa?”,
aku mencoba menghubungi teman yang baru saja hinggap dikepala ku melalui sebuah
pesan singkat.
Namun nampaknya, Jendro sedang berada
digereja ini kan hari minggu, karena sudah kutunggu-tunggu balasannya tak
kunjung dibalas.
Entah apa yang membawa fikiran ku
melayang-melayang, sampai membawaku teringat pada seorang tua renta, yang
wajahnya begitu akrab sekali dikehidupanku. Dia seolah tersenyum dihadapanku,
matanya begitu tajam memandangiku dengan penuh harap. Dengan warna rambut yang
nyaris tidak lagi berwarna hitam digantikan putih, dan kulit yang sudah keriput
karena telah dihabiskan oleh zaman.
Wanita ini seolah memanggilku agar
mendekatinya, ia berusaha membuka tabir masa laluku yang dijalani bersamanya
hingga aku pergi dari kampung halaman sekitar dua tahun yang lalu.
Ya!! Dia adalah nenek ku, dia adalah
wanita yang menghantakan aku dari seorang bayi sampai aku sebesar ini. Sejak
ibu meninggal pada saat melahirkanku, neneklah satu-satunya yang kumiliki
didunia ini, dia yang selalu merawat dan menjaga aku dalam setiap suka dan
duka.
Ayahku adalah seorang yang gagah dan
berani, ia begitu menyayangiku dan sangat menantikan ku lahir pada saat aku
masih berada dikandungan. Hanya nahas, sebelum aku terlahir kedunia, ayahku
sudah lebih dulu pergi dari dunia ini lantaran motor yang dikendarainya saat
hendak pulang dari rumah temannya tertabrak mobil berukuran besar, belum sempat
sampai dirumah sakit, nyawa ayahku sudah tidak tertolong.
Sementara ibuku, adalah orang yang
begitu menyayangi ayahku, sejak kejadian itu, ibuku selalu murung bahkan enggan
keluar rumah, ia hanya bersembunyi dikamar sembari membuka lembaran demi
lembaran foto pernikahan mereka. Kecintaan ibu ku kepada ayah benar-benar
sejati, ketika ia (baca.ibu) melahirkanku, ia mengalami pendarahan yang begitu
banyak dan akhirnya Tuhan memanggil ibuku dari dunia ini untuk segera menyusul
ayahku yang lebih dahulu pergi.
“Tuhan
begitu sayang kepada ayah dan ibumu, sehingga Tuhan memanggil mereka berdua
dari dunia ini”, kalimat itu terdengar dari mulut nenek
ku pada saat ia selesai menceritakan kisah ayah dan ibu ku.
Namun ternyata nenek begitu sempurna
menggantikan posisi ayah dan ibuku didunia ini, meski sampai sebesar ini aku
tidak pernah merasakan kelembutan kasih sayang mereka, namun nenek selalu
mengganti kasih sayang yang membuatku merasa bahwa hidupku tidak pernah sepi
dan sendiri.
“Rasanya
aku ingin sekali pulang kekampung halaman untuk melepas rindu sejenak dan
bercerita tentang kerasnya hidup dikota”. Pasti dia akan
senang, karena cucunya datang dan bercerita, sama halnya ketika aku kecil
dahulu yang selalu bercerita dikala aku pulang setelah bermain dengan
teman-temanku.
|
Lamunanku terpecah saat aku mendengar
bunyi dari handphone-ku.
“Maaf pur, bales nya lama..Gw abis
dari gereja”, balasan Jendro yang sudah kutunggu
sejak dua jam yang lalu.
Mataku segera melirik jam yang menempel
didinding kamarku, ternyata sudah menunjukkan jam dua siang lebih. Benar saja
dugaan ku, Jendro tadi masih berada di gereja.
“Ndro..Gw
pinjem motor ya nanti jam setengah empat, boleh gak?”.
“Emang
lu mau kemana?”.
Sekalian aku menjawab pertanyaannya, ini
adalah kesempatan untuk mengetahui alamat rumah Fatimah. Karena aku yakin
Jendro pasti hafal nama tempat-tempat dikota ini.
“Oke…nanti
jam tiga gw kekosan lu..”,
“Sekali
mendayung dua pulau terlewati”, -aku tersenyum setelah
membaca bunyi pesan Jendro barusan-.
Aku sangat bangga
dikelilingi oleh sahabat-sahabat yang begitu baik kepadaku. Disetiap kekurangan
manusia, Tuhan selalu menciptakan manusia lain untuk menutupi kekurangan kita.
Ini mengingatkan ku tentang kisah Rasulullah SAW, dimana Allah menciptakan
manusia lain seperti Abu Bakar as Shiddiq, Umar Bin Khattab, Utsman Bin Affan
dan Ali bin Abi Thalib untuk menemani Muhammad dalam berdakwah menyi’ar kan
Islam.
Sepak bola persahabatan
“Ia..Maaf
Siapa ini??”, Aku
membaca sebuah SMS balasan di HP ku..
“Maaf aku mengganggu aku Purnama temannya
Ismayatun”, segera aku membalas SMS dari Fatimah.
Seorang wanita yang belum aku ketahui parasnya,
apalagi perangainya. Namun karena ini salah satu saran yang dianjurkan sahabatku
Ismayatun, maka aku lakukan saja. Disamping itu, aku pun sadar bahwa dengan peristiwa
yang aku alami kemarin-kemarin, jujur saja aku membutuhkan teman lain untuk saling
berbagi.
Setelah
dua hari aku bertemu Ismayatun, aku mencoba mengikuti sarannya, untuk menghubungi
sahabatnya yang bernama Fatimah. Sebenarnya, aku ingin sekali menelfon Fatimah,
namun aku sadar ada beberapa alasan yang mengurungkan niatku, yang pertama kami
belum saling kenal, aku khawatir nanti tanggapan Fatimah datar-datar saja,
kedua aku pun cukup sadar biaya untuk menelfon cukuplah menguras kocek, apalagi
aku seorang mahasiswa yang bisa di bilang ongkosnya pas-pasan..
Maklum
mahasiswa rantau, “pacar gak punya hutang
dimana-mana!!!”,sambil mengingat lirik sebuah lagu.
Jadi
pilihan bijaknya adalah melakukan pendekatan melalui SMS, selain terjangkau,
provider selulerku pun banyak gratis SMS nya, ‘menyedihkan’. Proses pendekatan awalnya
adalah dengan mengirimkan SMS yang bunyinya..
“Ini Fatimah ya?”,
tanyaku..
Terang
saja itu Fatimah!!! tidak mungkin Ismayatun membohongiku dengan memberi nomor
yang salah. Namun sebagai langkah basa-basi yang cukup kuno, rupanya cara ini cukup
berhasil.
Setalah
dua hari komunikasi antara kami, melalui SMS akhirnya kuberanikan untuk
menelfon Fatimah. Seperti yang sudah ku bayangkan sebelumnya, Fatimah hanya
berbicara dengan intonasi yang datar, terkesan cuek dan angkuh.
Ahhh!!!..Aku kan baru kenal dengan nya,
apa lagi dia seorang wanita, tidak mungkin dia langsung berani mengakrabkan
diri dengan orang yang baru dikenalnya apalagi belum jelas bibit bebet nya, aku
berfikir positif dengan apa yang ku terima.
Setidaknya, setelah telfon ku matikan
aku sedikit banyak tahu siapa Fatimah. Mengingat apa yang disarankan oleh
Ismayatun, Fatimah adalah sahabatnya dikampus. Fatimah merupakan teman satu
jurusan Ismayatun, mereka kenal akrab satu sama lain.
Apakah sama halnya dengan Ismayatun
mengenal siapa aku??, Nalar ku bertanya.
Fatimah adalah sosok wanita yang hobi
menonton sepakbola, karena dia menceritakan soal perkembangan Piala Dunia, yang
kebetulan tadi malam Jerman baru saja memenangkan perempat final Piala Dunia
melawan kesebelasana Argentina dengan Skor Empat-Satu untuk Jerman.
Dan
anehnya, Argentina adalah tim idola ku sejak aku duduk dibangku sekolah dasar.
Karena sejak kelas empat aku selalu disuguhkan pembicaraan tentang Gabriel Omar
Batistuta, oleh pamanku. Pamanku selalu dengan semangat yang berapi-api saat
dia mulai membicarakan Superiortas Batistuta, apa lagi saat dia berhasil
mencetak gol dalam sebuah pertandingan.
Seolah
terhipnotis pamanku, sejak saat itu pula aku menahbiskan diri sebagai pengidola
baru, seorang anak kecil yang tidak paham Sepakbola namun begitu mengidolakan
Batistuta. Seiring dengan itu pula, aku mulai suka menonton pertandingan sepakbola
dilayar kaca, dan bisa dibilang aku hanya penggemar pemain, bukan tim
sepakbolanya. Jadi dimanapun Batistuta bermain disitulah aku turut menyukai tim
yang dibelanya.
Sementara
itu, Fatimah sangat mengidolakan Timnas Jerman!!, meski dia tidak mengutarakan langsung
namun dengan nada bangga saat menceritakan kemenangan Jerman, aku tahu dia
memfavoritkan Jerman di Piala Dunia yang di gelar di Afrika Selatan tersebut.
Sejak
saat itu pula, tanpa kami sadari, awal hubungan kami bermula saat kami
membicarakan tentang sepakbola.
“Jadi apa alasan kamu memfavoritkan
Jerman??”, aku bertanya disela-sela pembicaraan saat
menelfonnya.
“Pemainnya tampan-tampan dan jersey
nya bagus!!”,
Dasar wanita zaman sekarang, semua
selalu dilihat dari apa yang nampak!!, fikirku dengan miris.
Sudah hampir seminggu kami berkomunikasi via telfon, tak
sedikitpun pembicaraan kami yang mengarah untuk bertemu. Aku merasa kami saling
menahan diri satu sama lain. Dengan sedikit menyimpulkan, fatimah sebenarnya
membuat aku nyaman untuk beberapa saat. Meski komunikasi kami hanya sebatas
melalui media telefon, namun rasanya kami sudah saling mengenal.
Disisi
lain, aku sangat pesimis dengan keangkuhan yang ditunjukan Fatimah. Maklum saja
gaya anak Kota rasanya cukup melegitimasi sikapnya kepada orang yang baru di
kenal apa lagi masih tidak jelas siapa orangnya.
Hampir
sepanjang malam kami telfonan, dan menyedihkannya selalu saja aku yang memulai
untuk membuka komunikasi diantara kami berdua.
“Wanita
kadang makhluk yang paling naif didunia”, gerutuku dalam
hati.
“Kartini selalu mengelu-elu kan
kesetaraan gender, posisi wanita dan pria mesti sama. Tetapi kenapa dalam dunia
macam ini selalu wanita berharap diistimewakan”,
keluh ku dalam hari.
“tok..tok..tok”, suara
ketukan dari pintu kamar kos ku.
Aku cukup terkejut, siapa gerangan yang
mengetuk pintu kamarku, karena baru saja aku pulang dari kampus pukul 16. 47
waktu kosan ku. Sebenarnya aku bermaksud istirahat sembari memuaskan hobi ku
dalam membaca, tiba-tiba ada yang menggangu.
Dengan gaya malas aku beranjak dari
kursi dalam kamar kos ku untuk membuka pintu.
“malem ini mau ikut nonton bareng
gak?”,
Tanya seorang pria dengan tinggi badan
sekitar 172 cm dan rambut menyerupai aktor laga kawakan Andy Lau.
Namanya Meiza lelaki yang banyak disukai
oleh kaum hawa karena ketampanannya ini, merupakan orang pertama yang aku kenal
saat pertama kali aku menjadi mahasiswa baru. Kebetulan kami diperkenalan oleh
sahabat ku dari kampung, namun ia sejak Sekolah Menengah Atas (SMA) sudah
berdomisili di kota, yaitu Alen yang merupakan kekasih Meiza. Kami bertemu
disebuah rumah makan ketika kami makan siang, saat tengah melakukan pembayaran
administrasi sebagai mahasiswa baru. Namun ternyata aku dan Meiza ditakdirkan
lain, kami berada di fakultas yang sama. Meski kami berlainan jurusan, namun
karena sejak awal kami saling kenal, hubungan itu berlanjut setiap hari di
kampus dan bahkan kami bermain bersama diluar kampus.
Tuhan begitu adil, Ia selalu membuat
sebuah rekayasa yang tidak pernah diduga oleh Makhluk-Nya. Tuhan Maha Tahu apa
yang di butuhkan oleh Makhluk-Nya, saat aku butuh teman, dengan berbagai macam
usaha yang kulakukan, ternyata Tuhan mengirimkan nikmat dan rezeki dari arah
yang tidak diduga-duga.
“dimana?sama sapa aja?”,
belum sempat ku jawab pertanyaannya, aku balik bertanya.
“Jendro,
Ikal dan Ifan kita nonton di CafĂ© Biasa”, sanggahnya.
Aku baru saja ingat, malam ini laga semi
final Piala Dunia yang mempertemukan Spanyol Vs Jerman. Untung saja teman ku
yang bernama Meiza mengingatkan ku akan momen yang ditunggu-tunggu ratusan juta
umat manusia didunia. Bagaimana tidak!!, Spanyol dan Jerman merupakan tim kuat
favorit juara, dengan gaya ala tiki-taka yang hampir dari setengah pemain
Spanyol merupakan pemain yang dijuluki oleh semua orang didunia pemain dari
Planet. Sebut saja Xavi Hernandez, Gerard Pique, Iniesta, Puyol, David Villa
dan sang penjaga Gawang Iker Casilass.
Sementara
lawannya, Jerman tida kalah kuat, dengan bermaterikan pemain yang banyak
bermain diliga-liga top Eropa macam Piliph Lahm, Mario Gomez, Bastian
Swanchsteiger, Mario Gotze yang digadang-gadang akan menggantikan Franz
Backeunbaeur legenda hidup sepakbola Jerman, belum lagi dibawah mistar terdapat
Manuel Neur, tak salah rupanya pertandingan ini disebut-sebut sebagai
pertandingan terpanas dijagat raya pada tahun ini.
“Yaudah
ikut deh”, aku menyetujui untuk ikut teman-teman nonton
bareng.
“Jam sepuluh kita berangkat”,
jawabnya gaya seorang bos kepada karyawan disusul dengan suara pintu tertutup.
Seperti biasanya Meiza pasti akan
menjemputku dengan motor kebanggaannya, sebuah kuda besi keluaran pabrik motor
Jepang sekitar tahun 2000. Sejujurnya aku beruntung sekali meski aku tidak
memiliki kendaraan, tapi berkat Meiza aku sedikit dimudahkan dalam beberapa
urusan. Setidaknya aku bisa meminjam motornya saat aku membutuhkan, kadang ia
menjemput ku saat akan berangkat kekampus.
Maklum saja, Meiza adalah pribumi asli
kota ini, jadi tidak begitu sulit baginya untuk sekedar bermain ketempat kos
ku. Kadang pula aku diajaknya bermain kerumahnya, namun ada hal yang paling
tidak aku sukai dari hobinya adalah mengoleksi batu cincin, mungkin karena
alasan tersebutlah pacarnya meninggalkannya.
“Terang aja dia ninggalin, ente
lebih sayang sama cincin dari pada sama si dia”,
itulah kalimat yang ku ucapkan kepada Meiza saat dia menceritakan kisahnya saat
di putuskan oleh pacarnya, namanya Mulan.
Kami sering kali berkumpul disebuah Café
yang terletak dipinggiran kota. Cafenya tidak begitu mewah, namun cukup ramai
pengunjung, apalagi saat ‘weekend’,
café ini selalu dipenuhi oleh kalangan muda dan mahasiswa. Karena Café ini
menyuguhkan menu yang relatif terjangkau oleh mahasiswa macam kami. Meski pun
kami kesana hanya minum kopi segelas dan sisanya internetan sampe puas.
Seperti memahami kebutuhan kaum muda
saat ini, pemilik café membuat sebuah program khusus terutama saat musim
sepakbola. Selalu ada kegiatan nonton bareng di café ini, dengan layar yang
cukup besar disudut yang dapat diakses semua pengunjung, membuat kami merasa
nyaman melakukan nonton bareng di café tersebut.
“Dari pada dikamarku, hanya ada
televisi dengan ukuran 14 inch, dengan gambar yang sudah memerah dikarenakan
tabungnya rusak, maklum saja televisi tersebut kudapatkan dengan harga murah. Jadi
wajar aku sudah tahu konsekuensi apa yang aku terima dengan harga murah yang
kuberikan”, keluhku.
Namun nampaknya sosok Fatimah mendapat porsi
yang lebih diingatanku, aku mendengar tentang partai semi-final yang
mempertemukan Jerman Vs Spanyol, seketika nama Fatimah terngiang dikepalaku.
Dengan gaya elang mencari mangsa, aku tak berfikir panjang, segera ku ambil
handphone yang kugeletakkan disebelah buku yang sedang ku baca, “Pendidikan
Kaum Tertindas” karangan Poulo Fereire, seorang pemerhati pendidikan berasal
dari Brazil.
“malem ini Jerman main, mau
taruhan???”, dengan nada yang tergesa-gesa bicara dengan fatimah melalui ponsel
kesayangan ku.
“apaan??memang
apa taruhannya??”, seolah Fatimah tahu maksud ku..
“terserah
saja, apa yang baiknya buat kamu”, sedikit merayu..
“gimana kalo Jerman menang kamu
traktir aku makan Es Krim”, Fatimah seakan menyetujui
tawaranku..
“oke kalau Spanyol menang, kamu
yang traktir aku minum Es Krim??”, sedikit senyum.
“Oke deh. Yaudah kalo gitu”,
dari intonasi suaranya Fatimah ingin segera menyudahi perbincangan kami..
“Oke..
selamat sore”..
Kemudian setelah itu melanjutkan
bacaanku untuk menuntaskan buku milik Poulo Fereire, sembari mendengarkan lagu
milik salah satu Band Legendaris asal Liverpool, yang sampai hari ini masih
dipuja yaitu The Beatles, melalui leptop sahabat ku yang sedang kupinjam untuk
mengerjakan tugas kuliah. Judulnya “Strawberry
Fields Forever”. Lagu ini sampai kini diabadikan oleh penduduk Liverpool
sebagai nama sebuah taman Strawberry dipinggiran kota tersebut.
Liriknya sangat romantis, meski aku
bukan seorang yang fasih bicara bahasa Inggris, namun lagu tersebut mendapat
perhatian khusus bagiku. Pengambilan nada yang ‘easy listening’ dan lirik yang
mudah diterjemahkan, seolah John Lennon mengajak kita untuk membayangkan
bagaimana indahnya memadu kasih disebuah taman Strawberry.
Seperti yang sudah dijanjikan oleh
Meiza, pukul sepuluh malam aku sudah siap-siap menunggu jemputan Meiza.
Sebenarnya aku merupakan sosok pria yang kurang begitu memperhatikan
penampilan, sehingga nampak urak-urakan. Rambutku panjang sampai kebahu, belum
lagi janggut ku yang hampir menutupi wajah, berpakaian ala mahasiswa dengan
t-shirt yang sebenarnya hanya ada tiga pasang diserasikan dengan celana yang
lututnya sudah sobek termakan oleh usia.
Meski kadang teman-teman mengejekku
dengan kalimat jagoan di film kartun, yang pakaian tidak pernah ganti-ganti.
Karena celana ku hanya ada dua potong, dan kemeja hanya satu, jadi semua
pakaian tersebut kumasimalkan dalam setiap minggunya.
“tok..tok..tok..tok”,
bunyi ketukan pintu kamarku.
“cepet udah ditunggu yang lain”,
kali ini Meiza tak sabar menungguku membuka pintu, rupanya pintu kamarku tidak
terkunci jadi dia dapat membukanya langsung.
“oke..oke..yuk
berangkat!!!”, segera aku keluar dan mengunci pintu.
Rupanya Meiza sudah
berada diatas motor dengan mesin yang masih hidup. Dengan raut wajah yang
menandakan ketidak sabaraannya.
“cepet..kick
off jam setengah sebelas”, teriaknya agar aku sedikit lebih cepat.
“ia..ia..sabar bray!!”, aku coba menenangkannya.
Segera aku melahap
separuh jok kosong yang disisakan oleh Meiza dibagian belakang motornya.
Jarak dari kosanku menuju Café tempat kami
nonton bareng, tidak begitu jauh. Sehingga dapat ditempuh dengan waktu kurang
dari 20 menit. Ternyata ini malam minggu, seluruh kaula muda di kota tahu bahwa
tidak baik menghabiskan waktu dikamar atau dirumah. Aku pun tidak tahu sejak
kapan paradigma macam ini menggandrungi pemikiran anak muda di kota-kota besar.
Yang pada akhirnya kami harus sabar bahwa perjalanan kami menuju café tersebut
sedikit memakan waktu yang lama dari biasanya.
Sepanjang perjalanan mataku tidak lepas
dari sisi bahu jalan yang sesak dipenuhi oleh komunitas motor yang ‘masya allah’ banyak sekali, mulai dari
komunitas motor tua-muda, motor bebek motor laki sampai sepeda ada semua
disana. Kadang aku berfikir, apa yang menjadi alasan mereka untuk terlibat
dalam persatuan macam ini.
Justru dengan adanya mereka, masyarakat
merasa dirugikan. Dengan kebisingannya, belum lagi yang ugal-ugalan, bahkan ada
yang konvoi sampai tidak menyisakan sebagian untuk pengendara lain yang juga
sedang melakukan perjalanan.
Namun Meiza tetap saja fokus dengan
perjalanannya, aku tahu apa yang ada difikirannya, yaitu segera sampai di café.
Hal ini sudah kurasakan sejak dari kami berangkat dari kosan tadi, meiza seakan
tidak pernah menurukan jarum yang ada di speedometer motornya dari angka 70.
“Mei..Mei..kok
motornya limbung??”, aku bertanya sambil ketakutan..
“coba lu cek ban belakang!!!”,
“Astaga
Mei ban lu bocor”,
Segera Meiza minggir dari jalanan yang
padat dan mematikan mesinnya. Sejenak kami merasa kebingungan dan masih belum
percaya dengan apa yang terjadi. Aku menengok aroji di lengan kiriku, waktu
sudah menunjukkan pukul 22.48 Waktu setempat, dan merupakan waktu dimana kick off
sudah mulai, sementara kami harus pasrah menerima kenyataan bahwa motor kami
mengalami insiden pecah ban.
“Jadi
gimana ni sekarang??”, tanyaku memecah keheningan.
“Ya..cari
tambal ban, mau gimana lagi”, Meiza segera mendorong
motor.
Kami berdua percaya bahwa masih banyak penjual
jasa tambal ban dipinggiran jalan sepanjang kota ini, hanya kami masih belum
tahu apakah jarak dari tempat kami behenti jauh atau dekat. Namun dengan
semangat tinggi kami terus berusaha agar ban ini dapat kembali pulih, dan kami
dapat melanjutkan perjalanan.
Bray..kita pecah ban..tunggu disana
ya”,
Aku mendengar Meiza berbicara dengan seseorang melalui telfon selulernya.
“Nelfon
siapa Mei??”, tanyaku penasaran.
“Ikal..mereka nungguin kita disana
dari tadi”.
Ikal adalah sahabat kami dikampus.
Namanya sama dengan potongan rambutnya yang sedikit ikal. Memiliki kebiasaan
buruk yaitu senang dengan taruhan bola, kalau kami menyebutnya si penjudi kelas
teri. Sosok yang setia kawan, namun sedikit ‘playboy’,
karena suka gunta-ganti pasangan. Sebenarnya wajahnya tidak begitu tampan,
namun gaya olah lobi yang nilainya sembilan, membuat kami percaya bahwa wanita
mana yang tidak bertekuk lutut jika mendengar kalimat pujangga ikal keluar.
“Bray..udah setengah jam kita jalan,
mana ni tambal bannya??”, aku sudah merasa frustasi.
Nampaknya malam ini akan menjadi malam yang panjang untuk kami berdua.
“Sabar bray..teori probalitas,
semakin banyak berusaha semakin banyak peluang, jadi gak usaha ya gak ada
peluang”, wah Meiza mengeluarkan teroi yang ia dapat dari
dosen tuanya.
Dilain tempat pertandingan Jerman VS
Spanyol tengah berlangsung, sementara skor masih sama kuat 0-0, sesuai dengan
prediksi kebanyakan orang, kedua kesebelasan akan bertandingan ngotot dan terjadi
jual beli serangan, jadi skor kacamata cukup relevan menggambarkan peta
kekuatan masing-masing.
Dalam posisi ini aku sebenarnya cukup
menyesal, dilain tempat mereka sangat menikmati pertandingan sepakbola,
sementara kami mesti berjibaku dengan motor yang sudah tidak bisa dipakai
karena ban belakangnya bocor.
“Seandainya
tidak berangkat, mungkin saja saat ini, aku tengah menikmati serunya
pertandingan Jerman VS Spanyol dari layar kaca sebesar 14 Inch di kamar kosku”,
gerutu ku menyesal.
Ahh…!!Menyesal tak ada gunanya, lebih
baik berfikir bagaimana menyelesaikan masalah, ketimbang kita terlarut dalam
penyesalan, karena tidak ada manfaatnya sama sekali, ia tidak mampu
menyelesaikan masalah.
Rupanya kami baru tersadar bahwa ada
tambal ban tepat dihadapan kami, setelah sejam lagi kami melakukan perjalanan
panjang dari tadi. Seperti pada umumnya, pria gagah dengan paras wajah
membentuk trapesium, sudah menanti kami tepat dikios sederhana dengan bekas ban
mobil yang bertuliskan “tambal ban”, berwarna putih.
“Lay…masih
bisa nambal kan?”, sergahku..
Karena aku tahu dari wajahnya, dia tidak
bisa menipu, pasti dia orang Batak. Maka aku tidak ragu untuk memanggilnya
dengan kata Lay (sebuah sapaan akrab suku Batak). Aku pun terkadang sampai kini
masih heran, mengapa orang-orang batak diidentikkan dengan tambal ban?. Padahal
banyak juga orang batak yang sukses dari jalan lain seperti; pengacara, polisi,
pejabat dan lain sebagainya.
Namun satu hal yang aku pelajari dari
orang Batak adalah, kegigihan dalam menghadapi hidup. Mereka tidak sungkan
untuk melakukan pekerjaan apapun demi hidup yang lebih layak. Keberanian dan
kegagahan nya mestinya menjadi tauladan bagi orang lain, dimana banyak sekali
ditengah-tengah kita yang memasrahkan dirinya dengan nasib. Karena rezeki itu
datang dari setiap usaha-usaha yang kita lakukan.
Sebagaimana Tuhan, tidak pernah
mengharap manusia untuk terus-terus berhasil, namun Tuhan selalu menghimbau
manusia agar terus berusaha dan berdo’a kepada-Nya.
“Berapa lubang Lay??”,
tanya Meiza kepada penambal ban, yang tengah bersusah payah mengerjakan
tugasnya menambal ban.
“dua!!!”,
“Kira-kira
lama ya Lay??”, aku mencoba menengahi pembicaraan
mereka.
Yah kurang lebih sejam!!”.
Aku dan Meiza serempak memandang satu
sama lain, seolah kami saling mengetahui apa yang ada dalam fikiran kami
berdua.
Ya..dan itu artinya malam ini kami batal
untuk menyaksikan pertandingan sepakbola di tempat yang sudah kami sepakati
bersama. Dengan begitu, malam ini kami habiskan di tambal ban milik Lay, dan
hanya menyaksikan bagaimana sibuknya tukang tambal ban ini, membedah ban motor
milik Meiza.
“coba
lu tanya anak-anak udah berapa skornya”, pintaku kepada Meiza..
Dengan kesigapan ala tentaranya, Meiza
segera menelfon salah satu temanku yang tengah asyik menyaksikan laga
semi-final Jerman VS Spanyol di Café langganan kami.
“Halo..Kal..Maaf kayakanya kita gak
bisa kesana, nambal bannya lama”, Meiza membuka
pembicaraan dengan meminta maaf.
Skornya
udah berapa??”,
Ohh..oke…yasudah
makasih”..
Sekarang menit 83, skor masih 0-0”,
mencoba menjelaskan hasil pembicaraannya kepada ku. Karena aku tidak mendengar
apa yang dikatakan oleh lawan telfon Meiza barusan.
Pasti pertandingannya berjalan dengan
sengit, aku mencoba mencari jawaban sendiri atas apa yang tidak aku saksikan.
Mungkin saja ini akan berakhir dengan
perpanjangan waktu dan adu gawang oleh kedua tim. Jika sampai terjadi adu
gawang, terang saja aku menjagokan Spanyol, karena memiliki beberapa pemain
dengan akurasi tendangan yang cukup baik, dan Iker Cassilas yang merupakan
penjaga gawang terbaik dunia, dengan ketenangan mengantisipasi tendangan. “Aku
mencoba memprediksi layaknya komentator sepakbola di Televisi macam M. Kusnaeni
atau Bung Tommy Welly”.
Sekitar kurang dari sejam kami
bercengkrama di tambal ban, akhirnya si penambal ban, telah merampungkan
pekerjaannya..
“Oke..sudah..”,
si Lay mengisyaratkan kesuksesannya dalam menambal ban.
“Berapa Lay??”,
tanya Meiza utuk memastikan besaran ongkos yang harus kami bayar.
“10.000!!!”,
Tanpa bicara Meiza segera memasukkan
tangan kanannya kesaku celanan sebelah kanan, dan langsung memberikan kepada
Lay.
“Makasih Lay!!!”,
sembari melempar senyuman, tanda pembayaran dari ku, aku tidak berkontribusi aktif dalam proses
tambal-menambal ini. Jadi yang bisa kubayarkan adalah senyuman indah tanda
perpisahan kami dengan si Lay tadi.
“Gw balik aja Mei, udah jam
setengah satu lebih”, pintaku kepada sang sopir yang sekaligus sahabat ku.
Bergegas Mei mengarahkan kendaraannya
menuju tempat tinggal ku yang seukuran 3x4 Meter, dan kusewa selama satu tahun
dengan uang sebesar 2,7 Juta Rupiah. Pemilik kosan ku adalah seorang ibu tua,
yang kira-kira usianya sekira 50 tahunan. Dia begitu ramah kepada semua
penghuni kosan, kami biasa memanggilnya ‘Uni’, aku pun sebenarnya tidak tahu
asal muasal mengapa ia suka dipanggil demikian. Mungkin saja jiwanya yang masih
muda meski jika melihat wajahnya lebih cocok dipanggil nenek, atau bisa jadi
karena darahnya mengalir ras minang yang berasal dari ayah dan ibunya. Jadi
wajar saja dia sangat suka dipanggil ‘uni’ (sebutan kakak perempuan dalam
tradisi masyarakat Minang).
Setelah hampir 20 menit kami berjalan,
motor yang kami naiki, tiba-tiba berhenti tepat didepan halaman sebuah bangunan
berderet, yang lebih menyerupai susunan kamar yang menyamping, itu adalah
kosanku.
“udah sampe!!!”, ujar
Mei seolah dia memerankan supir taksi yang mengisyaratakan perjalanannya telah
usai kepada penumpang.
“Mampir
dulu gak??”,
“Makasih
deh, langsung aja”,
“Yasudah..hati-hati”,
“Sip…Gw pulang ya..”,
Seraya melambaikan tangan untuk sebuah perpisahan kecil dimalam yang panjang
bagi kami berdua..
Setelah mengamati perpisahan itu, aku
memutar balikkan tubuh, dan lekas berjalan menuju kamar.
Entah apa yang ada dalam benakku, arloji
ku sudah menunjukkan pukul 01.23 Wib, namun ada yang mendorong keinginannku
untuk menekan tombol bergambar telfon di ponsel 3310 berwarna biru tua dari
saku celana.
“Halooo..”,
suaranya begitu merdu, nan indah namun tetap tegar meski ini sudah dini hari..
“Kok
belum tidur??”,
“Belum..baru
aja selesai nonton bola”,
Astaga, wanita ini kan penggila bola,
tak salah jika ia rela tidak tidur untuk menyaksikan pertandingan sepakbola,
apa lagi yang main adalah tim favoritnya. ‘Aku coba memahami situasi’.
“Memang
kamu gak nonton??”, dia berusaha mengendalikan pembicaraan.
Fatimah ternyata sudah lebih merasa
nyaman berkomunikasi dengan ku, setelah seminggu lebih kami berkomunikasi via
telfon. Aku berusaha menceritakan apa yang aku alami tadi kepada Fatimah. Ia
terlihat senang sekali mendengarnya, padahal hatiku sangat kesal sekali apabila
mengingat peristiwa tersebut.
“Kamu
menang!!!”,
tiba-tiba Fatimah berkata dengan nada
sedih, atas kekalahannya dalam taruhan dengan ku..
Seolah mendapatkan energy tambahan, tiba-tiba rasa kesal dan lelah setelah hampir dua
jam kami berjalan dengan sepeda motor yang hanya bisa didorong, tiba-tiba
lenyap seketika.
Namun aku tetap berusaha elegan saat
sedang berbicara dengannya..
“Ohh..memang
siapa yang cetak gol?”, dengan nada yang ‘sok’ bijaksana
aku bertanya.
“Puyol..menit
89, padahal dari babak pertama, Jerman menguasai pertandingan”,
nadanya menyesali kekalahan Jerman.
“Yah..begitu
lah sepakbola, sebelum wasit meniup peluit panjang babak kedua, kita tidak
pernah tahu siapa yang akan keluar sebagai pemenang”,
aku menerangkan seolah paham dengan permainan sepakbola.
Aku memang bukan seorang pemuda yang
cukup lihai dalam mengolah kulit bundar, namun sejak kecil aku sangat suka
membaca Koran atau majalah sepakbola, dan sejak saat itu meski uang jajan ku
tidak lah terlalu besar, aku selalu sisih kan uang jajan hanya untuk membeli
majalah bola, kebetulan dikampungku dekat dengan pasar, dan setiap Jum’at siang
kusempatkan kepasar membeli majalah bola mingguan diloper koran.
Oleh sebab itu, sedikit banyak aku lebih
paham tentang perkembangan sepakbola, dibandingkan menguasai rumus matematika
dan pelajaran-pelajaran disekolah lainnya.
Hampir sejam kami berbincang-bincang,
aku mulai merasa bahwa Fatimah sudah mulai mengantuk. Sebelum kami akhiri
pembicaraan tersebut, Fatimah akhirnya mengajak aku bertemu pada sebuah
restoran yang menjual Es Krim, sebagai bentuk pembayaran hutang atas
kekalahannya malam ini. Aku sedikit gugup, karena sama sekali aku belum pernah datang
ketempat yang dijanjikan oleh Fatimah. Rasa minder, dan malu menghinggapi
setelah aku mendengar ajakan Fatimah tersebut.
Sungguh benar-benar malam yang panjang
untukku, Meiza dan Fatimah. Diawali dengan cobaan betus ban, dan di akhiri
dengan kalimat manis Fatimah. “Besok
jemput aku ya, aku mau traktir kamu Es Krim”, sepenggal kalimat Fatimah
sebelum menuntaskan obrolan kami berdua ditelfon tadi.
“Tuhan Maha Benar, dibalik kesulitan
pasti ada kemudahan”.
Langganan:
Postingan (Atom)